Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kompetensi Guru Meningkat karena IHT, Benarkah?

8 Juli 2024   08:48 Diperbarui: 9 Juli 2024   07:58 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembelajaran abad 21 menekankan pada pentingnya penguasaan teknologi dan pemanfaatannya dalam pembelajaran. Kehadiran teknologi dalam pembelajaran seolah menjadi media pembelajaran utama yang harus dimanfaatkan guru dalam praktik belajar di kelas bersama peserta didik. 

Ragam media belajar berbasis teknologi dihadirkan oleh sekolah dalam rangka mendukung pembelajaran berbasis IT. Harapannya pembelajaran akan berjalan seolah semakin canggih, hebat dan out of box karena penggunaan dan pemanfaatan teknologi di dalamnya.

Seperti kita tahu bersama bahwa teknologi informasi berkembang begitu pesat, bahkan melampaui kompetensi guru itu sendiri. Kehadiran teknologi canggih yang setiap hari terus bergerak dan berubah, belum mampu diimbangi dengan peningkatan kompetensi yang signifikan.

Dalam beberapa kesempatan saat saya mendampingi beberapa guru peserta pelatihan peningkatan kompetensi, berdasarkan hasil survey di awal kegiatan, rata-rata guru menganggap dirinya telah kompeten, guru professional, mengajar dengan ragam media teknologi up to date, inovatif, kreatif, mampu menghadirkan pembelajaran yang berpihak pada murid, dan kompetensi luar biasa lainnya.

Klaim tersebut bukan tanpa alasan. Dari tujuh pertanyaan sederhana yang saya tampilkan di paparan saat awal kegiatan, peserta memilih opsi a atau b yang merupakan opsi dengan nilai tertinggi.

Artinya, mereka semua yakin bahwa aktivitas belajar yang telah dilakukan selama ini bersama peserta didik di kelas, adalah aktivitas inovatif, kreatif dan menyenangkan, yang bagi mereka semua itu biasa dan merupakan aktivitas sehari-hari.

Kompetensi kita sebagai guru sejatinya sudah tidak ada yang perlu meragukannya lagi. Namun dalam beberapa kesempatan, ada supervisor yang menganggap bahwa guru masih perlu untuk dievaluasi, disupervisi, dilakukan kunjungan kelas saat mengajar. 

Tujuannya sejatinya bukan mencari kesalahan cara guru dalam mengajar, namun memperbaiki bagaimana cara guru tersebut mengajar selama ini. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Naif.

Beberapa teman pernah bercerita kepada saya, saat mereka akan disupervisi oleh pengawas atau kepala sekolah dalam aktitivitas pembelajaran di kelas. Mereka rata-rata merasa gugup, atau dengan bahasa yang lebih ekstrim, "ketakutan" saat akan dilakukan supervisi.

Padahal, di sisi lain, mereka telah mengajar puluhan tahun, pengabdian dan dedikasi, penguasaan konseptual materi pelajaran, kompetensi kognitif, sosial dan kompetensi lainnya, sudah tidak perlu diragukan lagi. Lalu kenapa masih merasa gugup saat akan supervisi?

Supervisor telah terlanjur menyandang image "kurang baik" di mata para guru. Mereka melakukan supervisi di kelas bukan pada fungsi supervisi yang sebenarnya, namun sebaliknya. Cenderung mencari-cari kesalahan dengan ragam pertanyaan dalam rubrik yang sebenarnya validasinya perlu untuk dipertanyakan. Bukankah dedikasi dan pengabdian menjadi bukti sahih betapa guru tersebut telah benar-benar melekat pada dirinya jiwa dan semangat mengajar? Semangat menghadirkan pembelajaran yang berpihak pada murid, pembelajaran yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa, bukan tujuan individu semata.

Peningkatan kompetensi guru dapat dilakukan sejatinya dengan ragam cara.  IHT (In House Training) yang banyak dilakukan di beberapa sekolah, untuk waktu yang pendek dapat meningkatkan semangat dan motivasi guru dalam mengajar. Itulah kemudian mengapa IHT banyak dilaksanakan di awal semester atau akhir semester menjelang masuk semester berikutnya.

Tujuan besarnya adalah peningkatan kompetensi guru, lainnya adalah apa yang telah didapat dalam IHT masih melekat saat guru mengajar, masuk kelas dan mulai berinteraksi dengan peserta didik di awal semester.

Aktivitas dalam IHT selain penguasaan materi konseptual dan praktiknya dalam pembelajaran, sejatinya juga bertujuan menumbuhkan sikap kolaborasi antar peserta. Poin ini penting karena merupakan bagian dari kompetensi abad 21 yang harus dikuasai oleh guru selain pembelajaran berbasis teknologi. Melatih kolaborasi antar sesame guru dapat dilakukan dengan ragam cara, salah satunya adalah IHT.

Aktivitas belajar IHT yang tepat, dapat menghadirkan semangat mengajar yang luar biasa. Peserta IHT dalam hal ini guru, tidak perlu dicekoki materi konseptual untuk dipelajari, tapi lebih kepada bagaimana konsep itu dipraktikkan dalam pembelajaran dan aksi nyata.

Sayangnya, tidak semua narasumber dalam IHT mampu melakukan hal itu dengan baik. Beberapa kegiatan daring terlebih luring yang pernah saya ikuti sebagai peserta, rata-rata materi disampaikan dengan cara konseptual belaka. Lembar Kerja (LK) kegiatan mentok menjadi jurus pamungkas mengusir kebosanan peserta setelah sekian jam menyimak materi dengan model ceramah.

Sejatinya, kehadiran IHT menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh sekolah (manajemen sekolah atau pengambil keputusan) dalam rangka meningkatkan kompetensi guru. Jangan berharap pembelajaran akan menjadi lebih baik, kualitas hasil belajar meningkat pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik jika perhatian kepada guru khususnya peningkatan kompetensi (mungkin juga kesejahteraannya) tidak mendapatkan perhatian serius.

Banyaknya jumlah peserta didik yang lulus dan lolos ke perguruan tinggi melalui jalur undangan, tidak dapat menjadi satu-satunya tolok ukur kualitas pembelajaran di sekolah. Boleh jadi semua hanyalah semu dan ilusi belaka hasil sulap dalam waktu singkat.

Materi dalam IHT sebenarnya tidak perlu terlalu muluk-muluk apalagi materi tinggi dan berat. Sebaliknya, guru diajak untuk refleksi, belajar bersama dengan praktik baik dan aplikatif yang dapat mendorong semangat dan motivasinya dalam mengajar.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara praktik langsung ragam metode pembelajaran dengan ragam media mulai dari yang sederhana sampai pada media yang sifatnya kompleks. Mulai dari media jadul sampai pada bagaimana guru menggunakan media canggih dalam pembelajaran.

Terpenting pada bagaimana guru mampu mensinergikan media yang ada dengan metode yang digunakan dalam pembelajaran. Jangan sampai kemudian media telah berbasis teknologi namun metodenya tidak sesuai, media berbasis video namun ujung-ujungnya nonton bareng misalnya. Ini mungkin saja terjadi karena ketidakmampuan guru memilih metode yang tepat dengan menggunakan media yang telah dibuatnya.

Di sinilah kemudian pentingnya IHT dalam pembelajaran sepanjang hayat, inilah kemudian yang menjadi alasan mengapa IHT penting untuk dilaksanakan di sekolah, minimal sekali dalam setahun.

Lalu, bagaimana mengadirkan IHT yang berkualitas, yang dapat meningkatkan kompetensi guru dalam waktu singkat? Mungkinkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun