Kita semua pasti "pulang". Siapapun kita: agama apapun, suku apapun, bangsa apapun, jabatan apapun, sepintar apapun, secantik apapun, sehebat apapun, sekaya apapun. Kita tidak bisa tidak harus "pulang". Kapan waktunya? Tidak seorangpun dari kita (manusia) yang ada di dunia tahu. Semuanya adalah misteri. Sebuah peristiwa yang tidak seorangpun mampu menjelaskan dengan gamblang, jelas dan pasti mengenai misteri ini.
Dua hari ini aku ke rumah duka rumah sakit Fatmawati. Salah satu tetanggaku meninggal dunia. Seorang ibu yang sudah lanjut usia. Sebetulnya aku belum pernah mengenalnya. Bahkan aku belum pernah bertemu dengan ibu ini. Namun karena aku diajak teman teman akupun ikut berbelarasa dan menyampaikan turut berduka cita. Aku bersyukur bisa mendoakan ibu Maria dan menyampaikan rasa belasungkawa kepada keluarga, khususnya Tasya.
Tasya adalah putri satu satunya pasangan bapak Robin dan ibu Maria. Ia merupakan sosok yang ramah, baik dan mandiri. Pak Robin, sang ayah sudah meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Walaupun ia sendirian karena tidak mempunyai saudara kandung ia dengan cepat bergerak untuk mengurus ibunya yang meninggal. Â Saudara dan tetangganya tentu juga ikut membantu Tasya. Terlebih dalam ibadat pemberkatan jenasah ibunya.
Pemberkatan jenasah dipimpin oleh Romo Rumanto SJ. Ada hal menarik dalam renungan yang disampaikan oleh romo saat memimpin misa requiem. Menurut orang orang pada masa lalu (saat ini masih ada sebagian orang) kematian dianggap merupakan hukuman, penghakiman atas kejahatan manusia sehingga ada vonis hukuman mati bagi yang melakukan kejahatan. Namun bagi orang beriman (Katolik), kematian justru merupakan relasi yang semakin erat dan menyatu dengan Kristus sendiri. Karenanya manusia justru diselamatkan. Mati berarti masuk ke dalam rumah abadi dimana jiwa jiwa menemukan kebahagiaan kekal. Manusia pulang ke tempat asalnya yaitu Tuhan sendiri.
Hal menarik lain adalah siapa saja yang ikut melayat. Ternyata mayoritas yang hadir dalam upacara pemberkatan jenasah adalah ibu ibu lansia. Walaupun sudah tua, ibu ibu ini dengan penuh kebahagiaan hadir. Kondisi jalanan macetpun tidak menyurutkan mereka. Bahkan ada seorang ibu yang memakai tongkat ikut hadir.
Hebatnya lagi ibu ini sendiri yang mengendarai mobil (menjadi sopir). Aku menuntun ibu ini dari tempat mobil parkir sampai ke rumah duka dan kembali menuntunnya setelah selesai ibadah dari rumah duka kembali ke tempat parkir. Aku merasa terharu. Ternyata ada kekuatan dibalik kelemahan seseorang. Sebuah semangat, motivasi untuk melakukan yang terbaik (tidak tinggal diam). Aku pun merenung mengalami perjumpaan dengan ibu ibu ini.
Ibu ibu ini tampaknya sedang mencoba menghidupi "jalan pulang" dengan hal hal yang baik dan berguna dengan sekuat tenaga. Selagi masih bisa bergerak, mereka terus bergerak. Pantang bagi mereka untuk diam tanpa melakukan apapun. Mereka ingin "berjalan pulang" dengan menebarkan benih benih kebaikan selagi bisa.
Bagi kita yang masih muda, tentu semangat ini jauh lebih besar karena tenaga dan kemampuan kita lebih baik dari mereka. Tentu kita tidak perlu menunda sampai kita tua untuk berbuat hal baik karena "saat pulang" bisa terjadi sewaktu waktu. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: "Apakah yang akan aku perbuat hari ini kalau esok hari kita "pulang"?
Amo Ergo Sum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H