Besok, dunia akan memperingati Hari Hak Asasi Manusia, namun kita masih dihadapkan pada luka lama yang belum sembuh. Tragedi Semanggi, yang telah 26 tahun berlalu, tetap menjadi pengingat bahwa keadilan belum ditegakkan.
Tragedi Semanggi menjadi pengingat kelam bahwa negara masih memiliki tanggung jawab besar untuk menghormati dan menegakkan hak asasi manusia (HAM). Peristiwa ini menyisakan ironi mendalam, karena terjadi tepat pada hari di mana MPR mengesahkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, 13 November 1998. Alih-alih mencerminkan komitmen pada HAM, tragedi ini justru menorehkan luka mendalam dalam sejarah Reformasi, memperlihatkan bahwa perjalanan menuju keadilan masih jauh dari selesai.
Tragedi Semanggi adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Reformasi Indonesia yang terjadi pada November 1998. Peristiwa ini bermula dari aksi protes mahasiswa dan masyarakat yang menolak Sidang Istimewa MPR dan pemerintahan transisi BJ Habibie. Demonstrasi yang menuntut penghapusan dwifungsi ABRI serta reformasi menyeluruh dalam pemerintahan ini mendapatkan respons represif dari aparat keamanan. Pada 12-13 November 1998, bentrokan terjadi di beberapa lokasi strategis di Jakarta, termasuk di kawasan Semanggi (Azzahra, 2020).
Puncaknya, aparat menggunakan kekerasan dengan menembakkan peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan massa. Dalam insiden ini, setidaknya 18 orang tewas, termasuk lima mahasiswa, sementara lebih dari 100 lainnya mengalami luka-luka. Kampus Atma Jaya Jakarta menjadi tempat perlindungan bagi mahasiswa yang terluka, tetapi kekerasan terus berlangsung hingga dini hari. Pemukulan dan penembakan yang merenggut nyawa melanggar hak asasi untuk menyampaikan pendapat dan hak untuk hidup yang dijamin Pasal 28A UUD 1945 (Wahyuni, 2022).
Namun, 26 tahun setelah peristiwa itu, belum ada proses hukum yang menuntut dan mengadili pelaku, baik di tingkat lapangan maupun komando. Tragedi ini lebih dari sekadar kehilangan nyawa mahasiswa dan warga sipil; ia juga menjadi pengingat akan perjuangan mahasiswa di era Reformasi yang menuntut perubahan besar, seperti mengadili Presiden Soeharto, membatasi kekuasaan presiden, dan menghapus dwifungsi militer. Sayangnya, harapan-harapan itu kini terhimpit oleh kepentingan politik, sementara keadilan bagi para korban masih jauh dari kata tuntas. Seperti yang disampaikan Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, negara masih gagal menegakkan keadilan bagi korban Tragedi Semanggi dan peristiwa tersebut terus dipertanyakan sebagai pelanggaran HAM yang belum diselesaikan (Amnesty International Indonesia, 2024).
Ketiadaan penyelesaian terhadap kasus Tragedi Semanggi menimbulkan pertanyaan: apakah ini disebabkan oleh ketidakmampuan pihak berwenang yang seharusnya bertanggung jawab, ataukah ada unsur kesengajaan dalam menghilangkan kebenaran yang ada? Ketidakjelasan ini mendorong para korban dan keluarga untuk terus berjuang, menuntut agar pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia ini dihukum. Salah satu bentuk perjuangan mereka adalah melalui aksi Kamisan, sebuah gerakan damai yang dilakukan dengan mengenakan pakaian serba hitam dan berdiri di depan Istana Negara. Dengan slogan "Protes diam melawan impunitas", aksi ini dilakukan tanpa struktur organisasi formal, menjadikannya sebagai bentuk aksi bersama yang turut mendapat dukungan dari pemuda dan lembaga swadaya masyarakat (Rini, 2022).
Perjuangan korban dan keluarga korban mendapatkan pengakuan simbolis pada 11 Januari 2023, ketika Presiden Joko Widodo secara resmi mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Semanggi I dan II. Meski awalnya dianggap sebagai langkah menuju penyelesaian, pengakuan ini hingga kini belum diikuti dengan tindakan nyata. "Pengakuan tanpa penegakan hukum hanyalah retorika kosong," tegas Usman Hamid. Ia menyoroti tanggung jawab Jaksa Agung untuk mengusut pelaku dan memastikan keadilan bagi korban Tragedi Semanggi I, sembari menekankan bahwa kegagalan dalam bertindak mencerminkan pengingkaran negara terhadap amanat Reformasi 1998 (Amnesty International Indonesia, 2024).
Pengakuan tanpa tindakan nyata memperlihatkan jurang dalam budaya politik yang masih rapuh dalam menegakkan keadilan dan akuntabilitas. Reformasi yang diperjuangkan dengan pengorbanan besar menuntut lebih dari sekadar kata-kata, melainkan langkah tegas untuk menghapus impunitas dan mewujudkan pemerintahan yang benar-benar menjunjung tinggi prinsip keadilan. Tragedi ini menjadi pengingat keras bahwa demokrasi yang kokoh hanya dapat tercapai jika hukum berlaku untuk semua tanpa pengecualian. Bangsa Indonesia memikul tanggung jawab bersama untuk menjaga api semangat Reformasi tetap menyala, agar perjuangan ini tidak berakhir sebagai jejak sejarah yang kehilangan maknanya.
Referensi
Amnesty Internasional Indonesia. (2024). 26 Tahun Tragedi Semanggi I: Negara wajib usut tuntas pelanggaran HAM berat. Diakses dari https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/26-tahun-tragedi-semanggi-i-negara-wajib-usut-tuntas-pelanggaran-ham-berat/11/2024/
Azzahra, A. (2020). Analisis Tragedi Semanggi I Terhadap Upaya Penuntutan Penyelesaian Pelanggaran HAM. Academia Praja: Jurnal Ilmu Politik, Pemerintahan, dan Administrasi Publik, 3(01), 103-112.
Rini, M. S. (2022). Kajian Yuridis Terhadap HAM: Timbulnya Aksi Kamisan Sebagai Representatif Peristiwa 1998-1999. JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 7(4), 294-305.
Wahyuni, K. Y. S. (2022). Tinjauan Htukum Internasional Terhadap Terjadinya Pelanggaran Ham Di Indonesia. Jurnal Locus Delicti, 3(1), 21-42.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H