Â
Berapa banyak dari kita suka dihukum akan kesalahan yang kita perbuat? Mungkin Anda tersenyum, dan bisa jadi Anda mikir bahwa Anda dan saya memang suka akan ketidakadilan, minimal bagi diri kita sendiri. Kita tidak suka jika kita mencuri dan hasil curian kita itu langsung terbongkar,Â
kita suka hasil curian kita itu tidak pernah terbongkar. Kita tidak suka kejahatan yang kita lakukan ditempat tersembunyi diketahui orang lain, kita suka kejahatan itu akan tersembunyi selamanya. Anehnya, kita suka berkata "Allah itu adil" jika itu menyangkut dosa orang lain. Jika itu menyangkut dosa kita, apakah kita berkata kepada diri sendiri "Allah itu adil".
 Bagi diri orang lain, kita suka agar keadilan ditegakkan. Kita suka agar pemerkosa dihukum, begal dipenjara dan penjual manusia dihukum seberat-beratnya. Kita suka agar para aparat yang korupsi dimiskinkan dan dihukum dengan adil,Â
kita tidak ingin mereka bebas dari perbuatan mereka. Rasa keadilan dalam diri kita seolah-olah akan berteriak "keadilan" bagi mereka yang melakukan kejahatan. Tapi "Jika itu kejahatan yang kita lakukan kita memakluminya".
 Ini bukan paradoks karena saya tidak percaya konsep paradoks. Ini merupakan fakta yang ada dalam diri manusia berdosa. Rasa keadilannya akan muncul saat melihat ketidakadilan di depannya dan kemunafikannya akan memperlihatkan diri saat dia sendiri melakukan hal yang jahat tersebut. Kita berpikir kalau orang lain memaki kita, kita akan marah tetapi jika kita memaki orang lain dalam hati, kita tidak memarahi diri sendiri. Tanya kenapa?
 Mengapa Anda begitu tidak adil terhadap dirimu sendiri? Jawabannya adalah kerena Anda dan saya sudah jatuh ke dalam dosa. Dosa yang bercokol dalam diri kita itulah yang membuat kita memaklumi kejahatan yang kita lakukan.Â
Dosa itulah yang membuat kita toleran terhadap kenajisan-kenajisan hati kita. Dosa kita itulah yang mematikan hati nurani kita sehingga kita tidak perlu menghukum diri kita sekalipun kita melakukan banyak kejahatan.
 Salah satu kejahatan yang tersebar adalah ajaran tabularasa. Konsep tabularasa yang salah dan menyesatkan membuat orang menganggap dirinya baik sedari awal. Mereka menipu dirinya dengan berpikir bahwa dirinya adalah orang baik tetapi Tuhan Yesus berkata "hati manusia itu licik, lebih licik dari pada segala sesuatu" (Yeremia 17:9).Â