Mohon tunggu...
Mona Fatnia
Mona Fatnia Mohon Tunggu... Lainnya - writer opinion

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ #La Tahzan Innallah Ma'anna #Bermanfaatuntuksesama #Rahmatanlillallamin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradoks PLTU: Sumber Listrik dan Sumber Polusi

16 Oktober 2023   21:49 Diperbarui: 16 Oktober 2023   22:20 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Mona Fatnia Mamonto, S.Pd

Pembangunan sejatinya mengantarkan pada kesejahteraan yang adil dan merata, pun perbaikan yang membawa dampak positif pada setiap rencana yang telah dirancang sedemikian rupa, agar menghasilkan kenyamanan dan keamanan bagi penduduk yang mendiaminya. Maka bukan tidak mungkin akan menjadi kawasan yang ramah serta sehat ketika perangkat mendukung dengan segala kebutuhan yang terjamin didalamnya. Namun apa jadinya ketika kenyataan itu berbalik dan malah membuat resah penduduk yang mendiaminya, dengan peluang hidup singkat yang mengatarkan pada berbagai penyakit dadakan, sementara perbaikan dan solusi nihil dilakukan, lalu kebijakan negara sebenarya untuk rakyat atau siapa?

PLTU Baru , Untuk Siapa ?

Paradoks PLTU tak ubahnya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, membawa kerusakan parah dan tak memberi solusi apapun pada yang terdampak. Dewasa kini tentu sumber listrik tak pernah henti dimanfaatkan dalam segala bidang, mulai dari industri, kesehatan, ekonomi dan tatananan negara, semuanya memerlukan sumber listrik yang memadai. Dengan pemanfaatan yang beragam tentu menghasilkan sumber polusi yang nantinya akan berpengaruh pada yang mendiami daerah tersebut, terlebih area yang ada dekat dengan PLTU. Lantas kebijakan ini memang diperuntukan untuk rakyat atas dasar kebutuhan atau malah untuk pemilik modal besar yang nyatanya hanya memberi kerusakan tanpa ada solusi apapun.

Pembangunan proyek PLTU mendapatkan kecaman dari berbagai lembaga, salah satunya kelompok pemerhati lingkungan hidup yang terang-terangan mengajukan protes secara resmi kepada Bank Dunia, tersebab memberikan dukungan keungan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia. (tagar.id,16-09-2023).

Bank dunia mendukung pembangunan  PLTU batu bara baru. Padahal ada problem polusi udara yang parah, dan jelas membahayakan kesehatan umat manusia dan berpotensi ada penggusuran warga.  Di sisi lain, ada kebutuhan negara akan ketersediaan listrik yang mengharuskan menambah daya agar tercukupi. Tentu hal ini setali tiga uang dengan apa yang telah dijanjikan oleh beberapa kepala negara agar tidak lagi mendukung penggunaan bahan bakar fosil dalam pengembangan sumber listrik.

Seperti di ketahui bahwa anak perusahaan Bank Dunia dalam sektor swasta, merupakan pendukung kompleks PLTU Suralaya di Banten dengan investasi ekuitasnya di Hana Bank Indonesia yang merupakan salah satu penyandang dana proyek terbesar. Pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara ini merupakan PLTU terbesar di Asia Tenggara, yang sekiranya memiliki delapan unit pembangkit listrik yang telah beroperasi. Ini pun mengarah pada dibangunnya dua pembangkit lagi yang sekiranya akan melepaskan 250 juta ton karbon dioksida yang nantinya akan menyebabkan pemanasan iklim ke atmosfir.

Tentu proyek ini pun digenjot agar bisa segera terlealisasikan manfaatnya kepada masyarakat, tapi dalam lapangan tak demikian. Terlebih banyaknya pembebasan lahan yang malah memakan korban, dan bukan kenyamanan. Ini pun didapati dalam setiap kejadian yang paling banyak mengalami kebijakan sakit adalah masyarakat yang terpaut dengan lahan Hak Pengelolaan (HPL). Maka wajar bila lahan yang turun temurun didiami oleh masyarakat diambil paksa atas dasar kebijakan untuk kepentingan umum. Namun nyatanya nihil.

Melihat dampak buruk yang terjadi pada masyarakat bukanlah dongeng belaka, yang diatur sebagus mungkin ceritanya lalu disampaikan kepada khalayak umum. Bukan begitu adanya, justru dampak inilah yang membuat masyarakat lokal menjadi trauma, mulai dari penggusuran paksa terhadap mereka yang tinggal di lokasi proyek. Ini pulalah yang memicu calon pengangguran baru tersebab daerah yang diambil alih pemerintah adalah sumber mata pencahariaan masyarakat setempat. Pun pada ganti rugi lahan yang diambil paksa nyatanya tak ada kejelesan baik dari masyarakat dengan pemilik proyek tersebut.

Menyoal pembangunan  PLTU sendiri, sebenarnya hanya menambah polusi masalah pada masyarakat, manfaat yang menguntungkan pun tak dirasa oleh masyarakat. Justru dengan adanya PLTU baru ini akan semakin memperparah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi dan malah akan meningkatkan penyakit-penyakit dadakan. Yang parahnya lagi iming-iming ganti rugi yang dijanjikan akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat hanyalah bualan semata. Tentu hal ini didasari bebebapa hal  : Pertama, Pembangunan PLTU dikawasan yang  strategis mengundang para pemilik modal besar untuk memuluskan tujuan liciknya. Kedua, Adanya dalih pemerintah terhadap pembangunan PLTU baru sebagai penunjang kebutuhan bagi masyarakat setempat.

Maka sebenarnya, ini bukalah jalan yang membawa pada perbaikan masyarakat, tapi malah mengatarkan pada kebinasaan singkat. Alih-alih sebagai sumber litrik yang katanya abadi tapi dalam nyatanya adalah sumber polusi tanpa solusi. Total kapasitas proyek PLTU Jawa 9 dan 10 sendiri mencapai 2.000 MW atau hampir 50% dari total kapasitas eksisting kompleks PLTU Suralaya unit. Inilah yang membawa bencana Iklim bagi masyarakat Indonesia yang sangat rentan dengan berbagai penyakit.

Menurut Juru Kampanye Energi Trend Asia, pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 nyatanya tak ada urgensi apapun untuk terus dibangun, terlebih pasokan kebutuhan listrik di daerah tersebut sudah terpenuhi dan malah sudah kelebihan pasokan yang justru akan menghancurkan masyarakat setempat.

Dukungan Bank Dunia tentu tak lepas dari kebijakan pembangunan ala kapitalisme, yang selalu mencari keuntungan dan mengabaikan  potensi resiko yang mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat. Karna pada dasarnya pembangunan  ala Kapitalis tak memandang adanya penghalang yang melarang, melainkan pada kepuasan materi, segala tujuan bisa tercapi meski akhiranya rakyat kembali yang jadi korban. Hal ini tentu tak menampik bahwa pembangunan PLTU yang digenjot sebenarnya bukan ditujukan atas dasar kebutuhan masyarakat, melainkan atas dasar kepentingan pemilik modal.

Sebab dalam kaca mata kapitalis, mendapatkan keuntungan dari proyek yang strategis seperti mencari berlian dalam tumpukan jerami, maka sebesar itulah perjuangan yang diusahakan agar tujuan tercapai. Karena besarnya upaya dari mewujudkan proyek, maka sebesar itu pula keuntungan yang diraup dari proyek tersebut. Hambatan pun tak mereka indahkan meski darah korban jatuh keatas tanah asalkan ambisi tertunaikan.

Ini pun tentu tak sesuai harapan yang disematkan kepada IFC yang telah menutup celah pendanaan proyek batu bara dalam Green Equity Approach dan memperbarui komitmennya dengan tak ada proyek batu bara lagi. Namun nyatanya tak demikian, sebab IFC sendiri adalah pemberi dana bagi Hana Bank Indonesia selaku pemberi modal proyek PLTU yang ada di Pulau Jawa 9 dan 10.

Pada dasarnya pembangunan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 tentu memerlukan dana yang tak kecil bukan, justru dengan dana yang besar mengantarkan pada kepuasaan hasil dari pembangunan PLTU tersebut. Ini pun berbalik dengan kerugian yang masyarakat dapatkan, bukan untung yang dihasilkan melainkan buntung hanya karna ketamakan para elit kapitalis yang acuh terhadap lingkungan.

Dengan demikian, nyatalah bahwa pembangunan PLTU baru ini hanyalah untuk kepentingan pemodal dan bukan kepentingan dari masyarakat setempat. Alih-alih menghasilkan dampak yang baik bagi lingkungan, tapi pada kenyataanya hanya menghasilkan kerusakan Iklim yang solusi pun tak pernah dihadirkan. Pun pada peran negara hari ini yang harusnya lebih fokus pada ketersediaan listrik yang ada di daerah pelosok negeri, sebab dalam hal ini masih banyak daerah yang tak tersentuh pasokan listrik. Dan bukan malah fokus pada pembangunan yang sebenarnya belum terlalu penting untuk dikejar, maka bila demikian jelaslah posisi negara sebenarnya berpihak untuk siapa.

Solusi Komplit Dari Islam 

Ketersediaan infrastruktur adalah hal penting yang menjadi prioritas dalam Islam, sebab dengan adanya pembangunan memadai dan berkeadilan mengantarkan pada terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Sebab dalam Islam, penyediaan infrastruktur dilakukan atas dasar kebutuhan dari masyarakat, ketika didaerah tersebut memerlukan sumber listrik yang memadai, maka negara hadir untuk menyediakan pasokan listrik.

Karna kebijakan pembangunan dalam Islam berorientasi untuk kebaikan hidup manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah. Kebijakan negara tidak boleh membawa dharar dan zalim. Ini pun sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang mestinya di perhatikan dengan baik.

Pertama, peran negara menjadi andil penting dalam terpenuhinya pasokan listrik disetiap pelosok negeri, sebab dalam hal ini listrik merupakan sumber daya alam yang kapasitasnya besar maka diperlukan adanya negara dalam menanfaatkan listrik yang ada, sehingga tercapai kesejahteraan yang merata,. Ini pun dengan pengambilan untuk dari hasil listrik yang diberikan kepada masyarakat yang tidak boleh ada punggutan apapun kepada rakyat, yang ada hanyalah rakyat dibiarkan membayar seadanya untuk mengganti biaya dari produksinya.

Kedua, Negara sebagai raa'in menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat, karna kebutuhan rakyat sangat diprioritaskan, apabila ada rakyat yang butuh pasokan didaerah tersebut pun pada daerah yang tak tersentuh aliran listrik sekalipun, maka disitu menjadi tanggung jawab negara dalam menyediakan pasokan listrik. Sebab Islam berorientasi pada kebaikan hidup manusia dalam menjalankan perannay sebagai hamba Allah Taala. Ini pun sejalan dengan pembiayaan proyek yang semuanya dibiaya oleh negara tanpa campur tangan investor luar yang diambil dari kas negara. Peran negara pun tak sampai disana, sebab negara memberikan edukasi secara menyeluruh terkait kewajiban menjaga lingkungan , memanfaatkan hasil SDA secara bijak dan sanksi tegas bagi setiap individu yang merusak lingkungan pun memanfaatkan SDA dengan serampangan yang memicu terancamnya keseimbangan alam dan lingkungan.

Oleh karenanya, terwujudnya pembangunan yang berkeadilan dan merata hanya bisa didapatkan dari penerapan Islam yang benar. Dengan sengala solusi yang dihadirkan mengantarkan pada kesejahteraan yang menyeluruh tanpa ada masalah. Wallahu allam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun