Mohon tunggu...
Mona Fatnia
Mona Fatnia Mohon Tunggu... Lainnya - writer opinion

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ #La Tahzan Innallah Ma'anna #Bermanfaatuntuksesama #Rahmatanlillallamin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Permendikbud PPKSP Bukan Solusi di Satuan Pendidikan

22 Agustus 2023   09:44 Diperbarui: 22 Agustus 2023   10:06 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkait dengan Permendikbud No. 46/2023 itu sendiri, bukan lebih fokus pada penyelesaian masalah pangkalnya, melainkan lebih kepada lingkungan dari satuan pendidikannya, meski dalam point-point yang dibuat adanya mekanisme pencegahan dalam permendikbud tersebut, misalnya soal pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam tingkat satuan pendidikan, dan Satuan Tugas dalam tingkat pemprov serta pemkab/pemkot yang masa pembentukannya pun berselang 6 sampai 12 bulan setelah permendikbud tersebut diundangkan. Hal ini pun bertujuan agar penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga satuan pendidikan tercipta lingkungan belajar yang inklusif, kebhinekaan, dan aman bagi seluruh warga di satuan pendidikan. Hal ini pun didasari pada beberapa hal ; Pertama, maraknya kekerasan di tingkat satuan pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik dan staf pendidikan, yang dialami mulai dari kekerasan verbal, non verbal , fisik sampai seksual. Kedua, adanya hasil asesmen dari KPAI terkait kekerasan lingkungan pendidikan di Indonesia yang hasil temuannya 34% pesdik berpotensi mengalami kekerasan seksual dan 26% berpotensi mengalami kekerasan fisik, sedang 36% berpotensi mengalami perundungan.

Permendikbudristek ini tak akan menyelesaikan persoalan jika berkaca pada permendikbud sebelumnya, karena permen ini tidak menyentuh akar persoalan. Sebab regulasi yang dihadirkan hanya monoton pada siapa pelakunya dan bagaimana cara mengatasinya, hanya itu saja. Pasalnya melihat ratusan fakta kekerasan yang terusnya terjadi sampai dengan hari ini, pemerintah hanya menyelesaikan masalah dasarnya saja tanpa mau menggali pangkal persoalan. Fatalnya lagi dalam penerapan permen ini, mendikbudristek sendiri mengatakan bahwa pembagian tugas yang dikembalikan kepada sekolah masing-masing dengan membuat kelompok kecil didalam bertanggung jawab untuk menangani, mencegah dan memulihkan korban dari kekerasan di sekolah.

Artinya ketika regulasi itu sudah ada dan sudah siap diterapkan, namun tanpa dibaca oleh kepala sekolah terlebih dahulu isi dari permen tersebut, maka pihak satuan pendidikan tetap wajib membentuk tim didalam lingkungan sekolah, sungguh diluar ekspetasi apalagi logika untuk berpikir. Seharusnya bila regulasi telah siap pakai di satuan pendidikan tentu dari pemerintah sendiri harusnya saling berkoordinasi dengan baik dan tranparan terkait aturan yang nanti akan di terapkan terhadap peserta didik, pendidik, staff pendidikan dan warga yang ada ada  didalam satuan pendidikan. Ini seperti halnya makanan yang tak jelas kehalalanya lalu viral kemudian hanya ikut-ikutan untuk menikmati makanan tersebut, setelah tak viral lagi dilupakan, tanpa mau mencari tau asal usul pembuatan dan sumber bahan makanan tersebut.

Pada dasarnya, permen ini memang tak membawa perubahan besar dalam lingkup satuan pendidikan, harap mencetak agen berakhlakul karimah, malah hanya jadi regulasi yang pro dan kontra. Pun pada penerapannya hanya menghasilkan peserta didik gagal produk alias korban dari percepatan program tak terarah. Baik kurikulumnya sampai pada materi yang dipakai, semuanya dipercepat, hingga akhirnya melahirkan peserta didik yang minim akhlak namun kaya karakter rusak. Hal ini pun tentu disebakan oleh beberap hal ; Pertama, rusaknya generasi hari ini adalah hasil dari paradigma salah kapitalis-sekuler, yang menjadikan standar keberhasilan pendidikan hanya diletakkan pada ukuran materi, sedang nilai agama dan moral dijauhkan dari pendidikan sebab pandangan ini tidak memberikan nilai yang cukup tinggi dalam pendidikan. Kedua, Tidak adanya peran negara didalam menyelesaikan masalah mendasar rakyatnya, dan malah menyelesaikannya tanpa mau mencari tau akar dari masalah tersebut.

Benar adanya bahwa regulasi ini bukan mendatangkan perubahan tapi malah menambah ketidakpastian. Melihat keadaan satuan pendidikan hari ini saja sudah pusing kepalang, apalagi menjalankan aturan yang tak pasti, pun pada pembuat aturannya pun sering gonta-ganti kurikulum, bagaimana bisa terimplementasi dengan benar dan sampai kepada satuan pendidikan aturan yang dibuat sementara akar masalah belum selesai, diganti solusi yang lain.

Pun pada faktor pendukung kerusakan lebih banyak dibanding solusi yang diberikan. Pertama sistem sekuler, yang fokus sistem pendidikan hari ini bukan bermuara pada terbentuknya perilaku peserta didik yang seiya sekata, tapi materi adalah induknya yang bermuara pada akademik dan lebih kepada pengabaian nilai agama.

Melihat fakta yang ada saja, dari 1-100% hanya 25% peserta didik yang tahan didalam kelas ketika diajarkan pelajaran agama yang didapat pun hanya sepekan, sedang 75% lagi datang, duduk, diam dengar, cuek sampai yang lebih parah lagi tak mau ambil bagian dalam pelajaran tersebut alias bodo amat. Padahal agama adalah pedoman hidup  manusia.

Kedua, akar masalah lain dari kekerasan ini adalah keluarga yang tak harmonis dan korban perceraian orang tua, dengan itu pun menghasilkan anak yang kurang kasih sayang, sebab dalam proses pengasuhan saja orang tua tak ada andil besat, alih-alih ingin mewujudkan anak yang sholeh, tapi lupa diri dan sibuk dengan pekerjaan, akhirnya anak haus kasih sayang sehingga timbul pribadi kriminal.

Ketiga, media sosial yang melalang buana, mudah diakses kapan saja dan semaunya kita, tak terbatas usai dari muda sampai tua dengan konten yang beraneka ragam, hal ini menjadi pemicu dalam terbentuknya sikap kriminal yang menghasilkan pribadi rusak. Dengan mudahnya dari tiap anak bisa mencari konten bernuansa pornografi hanya sekali klik, pun kekerasan yang hari ini merajalela di media sosial, baik dalam permainan, sampai konten perorangan. Apapun yang disediakan media dilahap mentah-mentah oleh anak-anak tanpa ada filterilisasi usia, sehingga memicu mereka untuk terus mencari dan mencari isi konten, alih-alih berhenti yang ada malah ketagihan. 

Regulasi ini hanya menambah rentetan aturan yang sama dengan pola yang berbeda tapi susunan katanya sama, namun tak melahirkan kepastian apapun. Maka jelaslah bahwa permendikbud No.46/2023 sebenarnya bukan solusi atas masalah kerusakan amoral yang terus terjadi dalam dunia pendidikan. Sebab dari awal hingga ujung pun ketika sistem yang dipakai adalah sistem yang rusak maka tetap akan melahirkan sistem yang rusak pula. Polanya pun akan sama pula ketika hanya membuat aturan baru kemudian bertambah lagi masalah, lalu kapan redanya coba ?

Pendidikan Islam Obatnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun