Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pemilu Kepsek, Desentralisasi Pendidikan

18 Januari 2025   05:59 Diperbarui: 18 Januari 2025   05:59 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memimpikan Masa Depan (sumber : bing.com/pribadi)

Dibanding membincangkan masalah pergantian nama dari Kepala Sekolah menjadi Kepala Satuan Pendidikan, rasa-rasanya, isu dan ide pemilihan umum Kepala Sekolah, lebih penting untuk dibicarakan.  Isu ini, sampai hari ini, masih terasa sepi, dan mungkin masih dianggap tabu.  Sehingga, dalam batasan tertentu pun, belum ada sentuhan pemikiran ke arah wilayah ini. 

Ada beberapa poin yang dapat dijadikan sandaran, baik dalam konteks regulasi maupun rasionalisasi.

Pertama, khusus di lingkungan madrasah, publik dikenalkan dengan peraturan terkait dengan wakil Kepala Madrasah atau wakil kepala sekolah. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1531 Tahun 2020 tentang Pengangkatan Guru yang Diberi Tugas Tambahan sebagai Wakil Kepala Madrasah . Dalam Keputusan Dirjen Pendis itu, tertera ada prosedur pemilihan Wakil Kepala Madrasah. Wakil di tetapkan pula, ketentuan mengenai periodisasi jabatan Wakil Kepala Madrasah tersebut.

Pertanyaannya, jika wakil kepala madrasah saja, boleh dipilih guru, dan sudah dipilih guru, maka, adalah rasional pula, bila kemudian Kepala Sekolah pun, dapat dirancang dengan hal serupa.

Kedua, secara politik, andai kita hendak mengacu pada logika politik yang ada saat ini, pimpinan daerah, mulai dari Presiden sampai Kepala Desa sudah dilakukan dengan pemilihan. Tidak mengherankan, dalam perhelatan lima tahunannya, masyarakat disadarkan mengenai pentingnya demokratisasi, melalui proses pemilihan pimpinannya.

Sekali lagi, dengan adanya kasus dan rasionalisasi serupa ini,  jika kepala desa saja, sudah bisa dipilih rakyat, masa iya, pimpinan sekolah tidak bisa dilakukan dengan hal serupa ?

Ketiga,  di satuan pendidikan, sampai saat ini, mungkin hanya pergguruan tinggi yang sudah melakukan pemilihan pimpinannya. Walau proses pemilihannya itu, diserahkan kepada wali amanah, atau istilah lainnya, menggunakan model perwakilan. Pemilihan Rektor diserahkan kepada perwakilan universitas, yang direpresentasikannya oleh WALI AMANAH UNIVERSITAS. Pada praktek beberapa perguruan tinggi, kandidatnya rektor kadang membuka diri dari luar, walau pada ujungnya, kerap kali kandidat dari dalam lebih unggul dibanding yang lainnya.

Sekali lagi, bila memperhatikan hal serupa ini, maka mengapa pemilihan pimpinan satuan pendidikan itu, hanya bergenti di level perguruan tinggi. dan tidak menetes sampai ke jenjang satuan pendidikan dasar ?

Keempat, ada pikiran yang sinis, mungkin karena di jenjang perguruan tinggi sudah dianggap melek dan dewasa, dibanding jenjang pendidikan dasar dan menengah.  Argumentasi serupa ini, nampaknya tidak rasional. Karena pemilih kepala satuan pendidikan itu, tida dilakukan oleh siswa atau murid, melainkan oleh guru. Sementara  tingkat kedewasaan dan kematangan guru, akan lebih baik dibanding dengan masyarakat umumnya. Artinya, jika pemilihan kepala desa bisa diserahkan kepada rakyat atau pemilihnya, kendati tingkat kedewasaan pemilih di lingkungan desa itu bisa merentang dari sangat melek hingga kurang melek, sedangkan di lingkungan pendidikan dapat diduga lebih dewasa.

Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak bisa dilakukan di jenjang pendidikan dasar dan menengah ?

Ada satu pikiran lain, yang mungkin dijadikan sebagai sandaran, masih tetap berlangsungnya proses penunjukkan pimpinan satuan pendidikan oleh Pimpinan diatasnya. 

Pertama, jenjang pendidikan dasar dan menengah, masih merupakan projek nasional. Program Wajib Belajar menuntut adanya keselarasan, kesinambungan dan kelancaran tugas perbantuan oleh kepala satuan pendidikan. Sehingga dengan demikian, kestabilan 'politik di jenjang satuan pendidikan dasar dan menengah' menjadi sesuatu yang wajib.  Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka penetapan kepala satuan pendidikan, masih  bersifat tugas perbantuan dan bukan desentralisasi pendidikan secara penuh.

Kedua, Lembaga pendidikan dasar dan menengah, bisa diartikan serupa dan diposisikan seperti UPT (Unit Pelaksana Teknis)  kementerian pendidikan, atau dinas pendidikan. Sehingga dengan demikian, proses pengangkatan pimpinan satuan pendidikannya, masih merupakan kewenangan pimpinan di atasnya.   Walau demikian, rasanya, argumentasi serupa ini pun, masih perlu untuk terus dinarasikan, sehingga kita bisa benar-benar memiliki sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman dan kebutuhan zaman. Pendidikan dan juga pembinaan aparatur pendidikannya, tidak bersifat politis, namun lebih mengedepankan nuansa akademis dan rasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun