Kok, masih ada yang yakin bahwa proses penetapan atau praktek penetapan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, sebagai sebuah dendam politik. Â Atau, jika hal ini adalah benar, memangnya, apa yang dimaksud dengan dendam politik, dan apa yang terjadi dibalik itu semua Itu. Â
Persoalan ini, tampaknya menarik untuk dikaji sedemikian rupa, sehingga kita bisa memahami, beberapa celah pemikiran yang mungkin akan semakin memperlebar narasi atau diskusi kita mengenai praktek politgik di negeri kita ini.
Sebagai kesimpulan awal nan sederhana, atau konklusi pemikiran, dengan memahami ragam percaturan narasi politik yang ada selama ini, "kita malah meragukan, bahwa praktek penetapan Sekjen PDIP itu sebagai sebuah dendam politik." Â Ini yang kita sampaikan di sini.
Meminjam, pemaknaan yang disediakan mbahnya Google, kita menemukan makna dendam, yaitu "... keinginan yang kuat untuk membalas kejahatan atau penderitaan yang dialami seseorang. Dendam juga bisa diartikan sebagai rasa marah yang sangat kuat disertai dengan keinginan untuk menyakiti orang lain.
Ada situasi psikologis yang masih mencurigakan, jika kasus di atas sebagai bentuk dendam politik. Karena, sejatinya, sebuah dendam, si pelaku memiliki jeda, baik untuk merasakan derita, termasuk menyusun rancangan pembalasannya. Artinya, butuh waktu untuk berpikir dan memikirkannya. Tetapi, manakala sebuah tindakan perlawanan itu tidak membutuhkan waktu yamg cukup, maka hal itu, bukan lagi disebut sebagai dendam, melainkan sebagai pembalasan saja.
Contoh sederhana, jika seseroang sedang berkelahi, kemudian dia membalas pukulan musuhnya, maka jal itu bukan dendam, melainkan balasan atau perlawanan, dari korbannya. Dengan kata lain, jika penetapan status tersangka kepada Sekjen PDIP sebagai bentuk dendam politik dari Jokowi atau siapapun, rasanya kurang tepat, dan tidak rasional, karena waktu penetapannya, tidak jauh dari proses kejadian itu.
Tetapi, ada yang unik dari berita seperti ini. Di media sosial, seperti yang disampaikan Novel Baswedan, bahwa pengusulan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam kasus yang disangkakan, sudah jauh-jauh hari diusulkan, namun 'tidak diproses' oleh KPK. Namun, setelah ada pergantian pimpinan KPK, dan juga rezim, malah kemudian tidak membutuhkan waktu lama, ditetapkannya.
Terlebih lagi, bila kemudian ada yang menyebutnya, sebagai bentuk "perlawanan'  kepada orang yang  kritis' kepada pemerintah. Pandangan ini, disampaikan Ray Rangkuti.Â
Sehubungan hal ini, maka hal yang menarik untuk disimpulkan itu, bahwa, fenomena ini lebih menunjukkan permainan politik-hukum, dibanding sebagai sebuah dendam politik atau penegakkan hukum.Â
Mengapa  hal ini bisa terjadi ?Â