Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Prabowo: Tiga Bintang Kembar

18 Agustus 2024   07:43 Diperbarui: 18 Agustus 2024   07:44 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
matahari kembar (sumbe : pribadi, bing.com) 

Tiga bintang kembar. Itulah istilah yang bisa terjadi, dan akan dihadapi oleh Prabowo Subianto.  Posisi ini, akan terjadi, manakala, Prabowo sebagai presiden, tidak mampu menunjukkan kemandirian-kewenangan sebagai presiden, dan rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Presiden Republik Indonesia paska Oktober 2024.

Mengapa hal itu bisa terjadi ?

Pertama, mau tidak mau, kejadian yang melanda internal Partai Golkar menebar isu kuat akan terjadinya perubahan struktur dan kompoisi kuasa-politik di dalam  Partai ini. Bila hal itu benar-benar terjadi, maka potensi tsunami politik bagi masa depan Presiden Prabowo akan jauh kerasa dan kental.

Soalannya sangat jelas. Hipotesis pertama, andai saja, Bahlil Lahadalia yang menjadi 'kepercayaan' Jokowi terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar, maka misi politik Partai akan beralih haluan sesuai dengan visi pimpinannanya. Persoalannya, bila Bahlil menjadi Ketua Umum, siapakah yang akan menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar ? tentunya, yang akan menjadi kandidat kuat, adalah Jokowi itu sendiri.

Hipotesis kedua, andai saja, Ketua Umum diambil alih oleh Gibran R, wakil Presiden terpilih, maka formasi ini pun tidak akan berbeda jauh. Dengan hipotesis pertama. Jokowi yang akan lengeser beberapa bulan ke depan, akan diproyeksikan sebagai Ketua Dewan Pembina.

Terlebih lagi, jika kemudian, Partai Golkar nekad secara politik, memilih Jokowi langsung sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Maka jelas sudah, bahwa sinar-dan wibawa Jokowi akan tetap bersinar disamping sinar Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam situasi ini, 'hutang budi' Prabowo terhadap suara-politik milik Jokowi, akan menjadi kunci-soal, untuk meredupkan kemandirian Presiden terpilih di masa yang akan datang.

Kedua, bila skenario pertama benar-benar berjalan. selain Jokowi sebagai matahari baru di masa yang akan datang, publik akan gagal fokus melihat Presiden Republik Indonesia. Andaipun, selama ini posisi Wapres kerap 'timbul tenggelam', sinar Gibran diduga akan mulai dikibarkan Partai Golkar di ujung-ujung periodenya. Hal ini, bisa menjadi bagian dari ambisi Partai, atau ambisi pihak terkait yang menginginkannya. Dengan kata lain, Gibran akan menjadi bintang-terang disamping matahari-kembar yang akan mendampingi Presiden Republik Indonesia.

Matahari ketiga, yang kini menjadi hangat pembicaraan publik, yakni potensi Anies Baswedan di DKI. Hampir dipastikan, hiruk pikuk pilkada DKI, dirimbuni dengan isu kekhawatiran bila Anies benar-benar muncul. Akan menjadi energi yang dahsyat bagi DKI, bila Anies maju, terlebih lagi dengan dugaan-utopisnya (misalnya menggandeng Ganjar Pranowo, atawa Ahok), maka DKI akan benar-benar menjadi matahari baru di era politik masa depan Indonesia.

Kekhawatiran terhadap munculnya matahari DKI ini, kemudian direfleksikan dalam wujud hiruk-pikuknya upaya penggembosan calon pendukung Anies di Pilkada DKI. PKS yang dianggap sebagai mitra-militannya Anies, tampak goyah dengan dinamika politik terakhir,  begitu pula dengan Nasdem, dan atau malah dengan PKB pula. Semua itu, memberikan gambaran bahwa upaya 'menghentikan' upaya pencalonan Anies di pilkada DKI memang terasa kental rasanya.

Apakah upaya serupa ini, merupakan bagian dari upaya meredamkan munculnya matahari kembari di esok hari ? atau untuk lima tahun yang akan datang ? teranglah sudah. Bila ada politisi yang mampu memiliki panggung politiknya sendiri di 5 tahun mendatang ini, maka penantang Prabowo, atau Gibran, jelas nyata sudah lahir di Pilkada DKI itu sendiri.  Tentunya soalan serupa ini, sangat mengkhawatirkan bagi pengusung mimpi yang sudah ditanam sejak dini, di kekuasaan puncak tersebut.

Berdasarkan pertimbangan itu, sejatinya, pentas politik lima tahun ke depan, akan menjadi dinamis, bila Pilkada DKI dan juga Pilkada Daerah lainnya, mampu melahirkan kader alternatif yang akan mengisi dialektika politik Nasional untuk lima tahun ke depan. Begitu pula sebaliknya. Bila dalam pilkada kali ini, ruh pilkada dan demokratisasinya lenyap, maka dinamika politik untuk 5 tahun ke depan, sudah mudah diprediksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun