Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Persembahan Karya Intelektual

26 Juli 2024   04:17 Diperbarui: 26 Juli 2024   04:20 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semula, masih menganggap bahwa ucapan persembahan seorang penulis skripsi, sebagai sesuatu hal yang basa-basi. Setidaknya, sekedar memenuhi etika kampus, sebagaimana yang dipersyaratkan kampusnya terhadap seorang mahasiswa. Karena ada persyaratan serupa itulah, maka kemudian, setiap mahasiswa (mungkin demikian kesimpulan kita), kerap memberikan kata-kata persembahan karya intelektualnya, kepada pihak terkait, yang dianggap berjasa dalam membantu mewujudkan karya intelektual tersebut.

Seiring perjalanan, dan juga saat melakukan pembacaan terhadap karya-karya klasik, kita akan merasakan perbedaan dan tradisi yang unik yang bisa jadi, tidak ada dalam kehidupan kita hari ini. Tradisi yang hilang itu, adalah persembahan karya intelektual untuk kepentingan perbaikan situasi kondisi, atau pemecahan masalah.

Kembali  kita menengok tradisi intelektual kita selama ini, persembahan karya intelektual itu, kadang bersifat formal dan sosial.

Pertama, persembahan karya intelektual dilakukan untuk pihak kampus, atau pembimbing intelektual. Kata-kata yang tidak asing dalam tradisi intelektual ini, yaitu ucapan terima kasih kepada pejabat kampus, baik mulai dari rektorat, dekan, dosen pembimbing dan penguji. Persembahan serupa ini, dapat kita sebutnya sebagai sebuah persembahan formal kelembagaan. Maksud dan tujuannya, bisa diposisikan sebagai bentuk penghargaan dan kebanggaan terhadap lembaga pendidikan, tempat dirinya mematangkan kompetensi intelektualnya.

Kedua, persembahan kepada suporter  material. Kendati tidak disadari penuh, pernyataan basa-basi ini kerap muncul. Pengakuan persembahan ini, misalnya diungkapkan dengan bentuk  pengakuan dan persembahan kepada yang membantu secara material (finansial), baik perorangan atau kelembagaan.

Pengakuan serupa ini, tentunya, bisa menjadi bahan pertanyaan, "apakah pengakuan ini, merupakan bentuk kebanggaan, atau menjadi indikasi adanya hubungan sikap intelektual si penulis dengan sponsornya tersebut ?" adalah tidak bisa dipungkiri, bahwa karya intelektual, adalah tetap karya-manusia, yang bisa jadi 'mudah tergoda' dari bias-bias kepentingan ideologi. Dalam konteks tradisi intelektual era imperialis, Christiaan Snouck Hurgronje (1857–1936), melahirkan karya intelektualnya untuk dipersembahkan kepada pemerintahnya, yang memiliki kepentingan untuk melakukan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia.

Ketiga, ada pula yang melakukan persembahan emosional-subjektif.  Misalnya, memberikan pengakuan dan persembahan karya intelektual kepada anggota keluarga, seperti orangtua, anak-anak, dan istri atau suami tercinta. Tradisi ini rasanya, merupakan bagian kesantunan dan moralitas bangsa kita, terhadap anggota keluarga, yang telah berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung. Untuk kasus tertentu, ada juga yang memberikan persembahan dan ucapan terima kasih kepada rekan sekelas atau rekan-rekan seperjuangan di tempat kerjanya.

Tentunya, model-model persembahan serupa itu adalah sah. Setidaknya, itulah realitas budaya yang ada di lingkungan akademik kita saat ini, dan selama ini. Namun demikian, hasrat penulis saat ini, menuangkan gagasan ini, sesungguhnya, lebih disebabkan karena terangsang dan terinspirasi oleh pengakuan dan persembahan karya dari kaum intelektual klasik.

Beberapa waktu sebelum ini, menemukan sebuah karya klasik yang luar biasa, yang ditulis oleh Nashrudin ath-Thusi. Saat itu, beliau menyusun karya Astronomi terkait pergerakan planet. Buku itu, kemudian diberi judul al-Jiz  Ilkhani. Nama akhir buku itu, disematkan sesuai dengan dinasti yang tengah berkuasa saat itu, yaitu ilkhanat Hulagu Khan (cucu Genghis Kan), yang berkuasa di sekitar tahun 1219-1224.  Tentunya, nuansa persembahan serupa ini, bukan hanya pada tokoh yang satu ini. Kita dan pembaca bisa menemukan ungkapan persembahan serupa ini pada ilmuwan yang lainnya. Namun, cukup kiranya, dengan menyajikan kasus serupa ini untuk dijadikan bahan renungan kita saat ini.

Maksud penulis, apa makna dari persembahan yang ditunjukkan serupa itu ?

Tentunya, pengakuan itu, bisa dimaknai sebagai persembahan formal, atau normatif kepada pihak yang memberikan  bantuan atau dukungan baik moril maupun material. Namun, khusus dalam konteks ini, kita melihat bahwa karya intelektual itu, sejatinya dimaksudkan bukan sekedar untuk menambah tumpukan  karya akademik di kampus, dan menjadi kebanggaan pribadi, melainkan menjadi bagian penting dalam memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan peradaban zaman. Nashiruddin Thusi yang lahir di tahun 1201, memberikan contoh nyata, bahwa karya intelektualnya itu dipersembahkan untuk merancang, merintis dan juga mendukung perkembangan sains dan teknologis, khususnya dalam bidang matematika dan astronomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun