Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kompromi dengan Paradoks

25 Juli 2024   05:41 Diperbarui: 25 Juli 2024   05:51 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JIKA kita membicarakan masalah persamaan, mungkin mudah. Mudah dalam pengertian, tidak akan ada masalah dalam hidup dan kehidupan ini. Karena sama-sama orang sunda, karena sama-sama orang Jawa, karena sama-sama orang Batak, atau karena sama-sama orang Melayu, mungkin akan lebih mudah membangun kebersamaan berdasarkan kesamaan. Tidak akan banyak masalah, jika dihadirkan dan hadir dalam banyak kesamaan.

Persoalannya, kesamaan dan persamaan itu, bukan satu-satunya realitas kehidupan kita. Realitas yang ada, justru malah sebaliknya. Realitas kehidupan yang tidak selamanya sama dan mudah bersama-sama. Kehidupan kita, kerap kali hadir dalam suasana yang berbeda, dan sarat dengan perbedaan. Beda latar belakang, beda agama, beda suku,  beda bahasa, beda kebiasaan, beda keinginan, beda tujuan dan lain sebagainya. Cukup dan amat teramat banyak perbedaan.

Bagaimana mengatasi masalah serupa ini ?

Tradisi nasional kita sudah memberikan sebuah gambaran penting. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Keragaman adalah sebuah realitas, tetapi kemampuan untuk kompromi dengan keragaman adalah ikhtiar kemanusiaan dalam mencapai tujuan. Dari konteks inilah, akan lahir seni dan strategi hidup dalam mengatasi masalah keragaman atau perbedaan. 

Seorang tenaga pendidik, akan dituntut dengan tantangan mengelola seni mengajar, saat berhadapan dengan berhadapan dengan ragam-karakter peserta didiknya. Dia tidak bisa memaksakan satu jenis cara mengajar, atau satu pola mengajar untuk kepentingan banyak siswa yang ada di dalam kelasnya. Di kurikulum Merdeka, ada istilah model pembelajaran berdiferensiasi.

Pasangan orangtua, akan dituntut untuk mengembangkan model merawat anaknya, saat dia berhadapan dengan keragaman anak yang ada di dalam rumahnya. Dari sejumlah anak, kakaknya memiliki karakter yang berbeda, dengan adiknya. Bahkan, bila lebih dari dua anak pun, dia akan menemukan karakter anak yang berbeda-beda. Itulah realitas di dalam keluarga. Artinya, sepasang orangtua, harus memiliki kemampuan dan kesadaran untuk beradaptasi dengan keragaman anak-anaknya.

Seorang suami, sekalipun hanya menghadapi satu orang pasangan hidupnya, dia akan berhadapan dengan karakter yang berbeda.  pasangan hidupnya, lahir dan besar dari lingkungan yang berbeda, dengan kebiasaan dan kemampuan yang berbeda. Karena itu, adalah kewajiban nyata dalam hidupnya, yaitu mengemas model beradaptasi dan berkompromi dengan perbedaan. Lah, lebih-lebih lagi, kalau pasangan hidupnya lebih dari satu orang, maka keragamannya akan jauh lebih kompleks lagi.

Merujuk pada pengalaman serupa itu, maka nyata sudah  bagi kita hari ini, bahwa kompromi dengan perbedaan, sampai paradoks sekalipun adalah realitas hidup dan kehidupan kita. Berbeda bukan berarti  musuh,  kalau musuh pasti beda (kepentingan). Aku berbeda dengan kamu, dan kamu berbeda dengan aku, tetapi aku dan kamu bukanlah musuh. Istri berbeda dengan suami,  guru berbeda dengan siswa, setidaknya dalam konteks fungsi sosialnya.  Tetapi, mereka itu semua, tidak saling musuhan. Justru kompromi antar keduanya, kemudian melahirkan dinamika hidup dan seni hidup yang indah.

Ilustrasi yang cocok untuk menggambarkan hal ini, cukuplah banyak dalam kehidupan ini. Satu diantara ilustrasi itu, adalah pelangi. Warna pelangi beda-beda. Perbedaan warna tidak jadi musuhan. Justru dengan keragaman warna itulah, kemudian melahirkan sebuah keindahan. Di sinilah, realitas faktual sudah memberikan penguatan pemahaman kepada kita, bahwa berdampingan dengan perbedaan, adalah satu keniscayaan yang dapat melahirkan seni-indah dalam kehidupan.

Sayangnya memang. Tidak semua orang paham dengan realitas ini. Atau, masih ada diantara kita yang mengartikan, berbeda sebagai musuh, atau musuh dianggap tidak  beda dengan dirinya.  Masih ada diantara kita, yang sulit untuk menunjukkan pengakuan yang tulus terhadap realitas ini. 

Fakta sosial yang ada, masih ada  musuh dianggap kawan, sementara kawan karena beda latar belakang dianggap musuh. Bagi mereka bisa jadi, melontarkan pertanyaan, "memangnya ada yang disebut musuh ?  atau, memang ada yang harus diposisikan sebagai musuh ?"  Untuk mendapatkan jawaban ini, fakta hidup pun, masih memberikan petunjuk. Dalam batasan tertentu, manusia perlu waspada, sebab ada yang disebut virus yang bisa menyebabkan kanker akut, dan menyebabkan kematian. Bisa jadi, sikap korup, kriminal, adalah beberapa virus sosial yang harus dijauhi oleh siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun