Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ahmad Tafsir, Referensi Filsafat Islam Indonesia

22 Juli 2024   04:16 Diperbarui: 22 Juli 2024   04:47 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: rajagrafindo.co.id

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.  Hari ini mendapat berita yang mengagetkan. Sudah lama tak bersua, kali ini, dipaksa berhadapan dengan berita yang 'tidak diinginkan' oleh sebagian orang, dan sangat dinantikan oleh sebagian orang pula. Bergantung sudut pandang, dan kualitas spiritualitas yang dimilikinya. Kematian memiliki dimensi unik dan khas, bagi manusia.

Bagi mahasiswa angkatan 90-an, bisa jadi, pengalaman intelektual (duh meni genit amat ya..), relatif akan sama. Khususnya bagi para petualang pemikiran dan merasa kehausan informasi keagamaan. Terlebih lagi, dulu, tahun 90-an itu, dianggap fase subur  kesadaran Islam, baik di Indonesia, Asia maupun Dunia.  Alvin Toffler, satu diantaranya yang mengeluarkan hipotesis tentang  kebangkitan Islam di dunia, di akhir abad XX dan awal abad XXI.

Ya, kalimat ini, seakan-akan memberikan legitimasi bahwa penulis pun, adalah bagian dari kelompok yang sedang dibicarakan ini. Sejatinya tidak demikian. Penulis sekedar anggota pinggiran, dan bukan pemain utama atau kelompok inti dari petualang pemikiran. Tetapi, kendati sebagai rakyat-jelata akademik pada waktu itu, atau anggota-jelata organisasi kemahasiswaan di waktu itu, namun nama-nama besar yang kerap dijadikan rujukan dalam pemikiran Islam di tahun itu, tentunya tidak akan asing bagi mahasiswa atau aktivis di tahun tersebut.

Ya, betul. Di kala itu, pemikir Muslim Bandung itu, akan dirujukkan pada Jalaluddin Rakhmat (UNPAD saat itu, allahu yarham), Muhammad Imaduddin Abdurachim (ITB, allahu yarham), dan Ahmad Tafsir (UIN Sunan Gunung Djati,allahu yarham). 

Mereka menggenapkan dinamika dan hiruk pikuk pemikiran Islam di  tahun 90-an, membersamai mahasiswa dengan kaum  intelektual lain dari Bogor, Jakarta, Jogjakarta dan daerah-daerah lain lain. 

Tokoh pemikir dari Pesantren, banyak pula yang hadir dan muncul ke permukaan, dan menjadi bagian penting dari kebangkitan dialektika pemikiran Islam saat itu. 

Khusus untuk konteks hari ini, penulis ingin katakan bahwa kehadiran Ahmad Tafsir saat itu, bagi penulis khususnya, menggenapkan wacana keislaman yang tengah menanjak di tahun 90-an. Untuk konteks itu, Mahasiswa Bandung khususnya (Indonesia pada umumnya) akan memanfaatkan kejernihan pemikiran dari  Prof. Dr. Ahmad Tafsir. 

Beliau ini, saat ini dikenal sebagai pakar pendidikan Islam, sementara di tahun-tahun 90-an, kerap menjadi rujukan pemikiran Filsafat Islam. Bagi penulis sendiri, beliau ini dikenal bukan saja, sebagai narasumber keilmuan filsafat Islam, tetapi juga pakar pendidikan Islam. tampaknya, bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan paska sarjana di UPI, bisa jadi tidak akan asing dengan karya akademik Ahmad Tafsir. Tetapi, yang monumental bagi mahasiswa di tahun-90-an, dengan judul FILSAFAT UMUM. Buku inilah, yang kerap dijadikan rujukan gerakan pemikiran atau gerakan intelektual mahasiswa di masa-masa tersebut.

Lha, bukankah beliau itu adalah dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung? sementara penulis adalah alumni Universitas Pendidikan Indonesia?

Betul. Beliau adalah dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tetapi, aktivis mahasiswa di tahun itu, hingga saat ini, kiranya tidak akan mengabaikan pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam sejumlah buku, baik yang terkait dengan filsafat, pendidikan, atau pemikiran keagamaan. 

Setidaknya, penulis sendiri merasa sebagai salah satu 'produk' dari dialektika pemikiran mahasiswa angkatan 90-an. Akuan ini, penulis terakan pula dalam buku penulis yang terbaru, Metodologi Penelitian: Tauhid sebagai Paradigma  Riset. 

sumber: rajagrafindo.co.id
sumber: rajagrafindo.co.id

Sangat melimpah, percikan pemikiran dari beliau ini. Satu diantara sekian dialog yang penulis rasakan sendiri, adalah saat beliau menjelaskan mengenai perjalanan intelektualnya. Secara umum, ide cerita waktu itu, kira-kira begini...

"saya hari ini, menjalani kegiatan tarikat..." ungkapnya dalam satu waktu. "perjalanan ini, saya alami, karena ternyata, akal tidak mampu menjawab sebagian permasalahan kehidupan. Sebagian masalah hidup dan kehidupan ini, harus didekati dengan pendekatan hati atau rasa. .." paparnya, "ikhtiar yang dapat dilakukan itu, adalah dengan pendekatan tasawuf.." 

Mendengar itu, kemudian, sempat saya lontarkan pertanyaan lanjutan, "apakah tarekat atau tasawuf itu, puncak dari perjalanan akal manusia? atau pelarian dari orang-orang yang kebuntuan dalam mengembangkan potensi akal ?" 

Mendengar pertanyaan itu, beliau hanya tersenyum, dan kemudian memberi komentar, "jalani itu, nanti kamu akan menemukan sendiri jawabannya...!"

Karena dialog serupa itulah, saya merasakan bahwa belajar itu tidak pernah berakhir, dan mencari jawaban adalah proses panjang kota dalam menjalani kehidupan ...   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun