Setidaknya, penulis sendiri merasa sebagai salah satu 'produk' dari dialektika pemikiran mahasiswa angkatan 90-an. Akuan ini, penulis terakan pula dalam buku penulis yang terbaru, Metodologi Penelitian: Tauhid sebagai Paradigma  Riset.Â
Sangat melimpah, percikan pemikiran dari beliau ini. Satu diantara sekian dialog yang penulis rasakan sendiri, adalah saat beliau menjelaskan mengenai perjalanan intelektualnya. Secara umum, ide cerita waktu itu, kira-kira begini...
"saya hari ini, menjalani kegiatan tarikat..." ungkapnya dalam satu waktu. "perjalanan ini, saya alami, karena ternyata, akal tidak mampu menjawab sebagian permasalahan kehidupan. Sebagian masalah hidup dan kehidupan ini, harus didekati dengan pendekatan hati atau rasa. .." paparnya, "ikhtiar yang dapat dilakukan itu, adalah dengan pendekatan tasawuf.."Â
Mendengar itu, kemudian, sempat saya lontarkan pertanyaan lanjutan, "apakah tarekat atau tasawuf itu, puncak dari perjalanan akal manusia? atau pelarian dari orang-orang yang kebuntuan dalam mengembangkan potensi akal ?"Â
Mendengar pertanyaan itu, beliau hanya tersenyum, dan kemudian memberi komentar, "jalani itu, nanti kamu akan menemukan sendiri jawabannya...!"
Karena dialog serupa itulah, saya merasakan bahwa belajar itu tidak pernah berakhir, dan mencari jawaban adalah proses panjang kota dalam menjalani kehidupan ... Â Â