Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesiapan Mental Sebelum Berpisah dengan Anak di Boarding School

21 Juli 2024   14:40 Diperbarui: 21 Juli 2024   14:46 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Posisi penulis, sekedar menjadi penyimak. Penyimak sebuah nasihat yang disampaikan seorang pengelola Pesantren, pondokan dan juga Asrama Pendidikan. Beliau ini adalah pakarnya dalam bidang ini.  Pengajar di MAN IC Serpong, Pahruroji M. Bukhori, memberikan nasihat yang mendalam dan bernilai bagi orangtua siswa/santri.

Pada kesempatan itu, sejatinya, disampaikan dalam konteks untuk orangtua siswa dari Santri MAN IC Sumedang. Cukup banyak yang hadir saat itu. Kuli tinta, pemburu berita, pimpinan sekolah, pimpinan kementerian dan banyak pejabat lain yang terkait ada di lokasi.

Kebetulan, penulis menjadi salah satu diantara sekian orang yang mendapatkan waktu dan kesempatan untuk menyimak penjelasan itu. Beliau menuturkan, bahwa keberhasilan kita dalam memondokkan anak-anak di sebuah lembaga pendidikan berbasis asrama (boarding school), setidaknya perlu ada ijab qabul yang nyata, yaitu TITIP.

TITIP adalah konsep, yang sekaligus akronim. Disebut konsep, karena proses transaksi-amanah antara orangtua siswa dengan penyelenggara pendidikan, adalah proses ijab-qabul amanah. Amanah untuk membantu putra-putrinya meraih cita dan harapan yang ada dalam jiwanya. Oleh karena itu, santri atau siswa atau anak didik adalah titipan, bukan hanya titipan orangtua, tetapi juga titipan bangsa dan negara untuk menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Anak didik adalah titipan negara untuk masa depan kehidupan kita bersama. 

Lebih jauh dari itu, anak didik adalah titipan ilahi kepada orangtua, dan juga lembaga pendidikan. Sebagai sebuah titipan, maka orang yang dititipi, baik itu orangtua dan lembaga pendidikan, perlu dengan seksama menjaga amanah tersebut. Sebagai titipan ilahi dan bangsa serta negara, maka generasi muda ini, diharapkan akan menjadi kebanggaan orangtua,  masyarakat serta bangsa dan negara.

Dalam khutbah itu, konsep  TITIP pun dimaknai sebagai sebuah akronomi. Titip adalah akronim dari tega, ikhlas, tawakal, ikhtiari dan percaya.

T pertama, tega. Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah tega, diartikan "tidak menaruh belas kasihan; tidak merasa sayang (kasihan dan sebagainya); tidak peduli akan nasib (penderitaan) orang; sampai hati".

Makna ini, terkesan dan mengesankan nilai yang kurang baik, atau negatif. Tetapi maksud dari prinsip ini, adalah kesanggupan untuk melepas-ketergantungan anak pada orangtua, atau melepas ikatan-pemanjaan orangtua pada anak. Sikap tega ini, dikemas dan dikembangkan dengan maksud untuk membangun keberanian untuk menjaga rasa dan hati, dalam melepas ikatan rasa kemanjaan dan pemanjaan demi kemajuan anak.

Bila saja selama ini, seorang ibu tidak tega melihat anaknya hidup sederhana, merapihkan kamar sendiri, berpeluh keringat dalam memenuhi kebutuhan dirinya, maka saat melakukan pemondokkan anak di boarding school, rasa tega ini harus muncul.

Seorang ayah harus tega, melihat anak kesayangannya berpeluh-peluh kerja bakti di tempat pendidikan. Seorang ibu harus tega, melihat anak kesayangannya harus berlelah-lelah mencari sesuap nasi dan mencuci pakaian, dan lain sejenisnya. Dalam konteks itulah, orangtua harus 'tega', demi membangun kemandirian dan kematangan mental anak-nya sendiri.

Pesan kedua, yaitu  I  singkatan dari ikhlas. Konsep ikhlas ini, bisa diterapkan kepada ke semua pihak. Orangtua harus ikhlas melepas anak belajar mandiri dan dikondisikan di pengelola pendidikan di pondokan. Seorang anak  pun harus ikhlas hidup jauh dari orangtua dan lepas dari bantuan fisik orangtua. Kemudian, tim pelayan pendidikan harus ikhlas memberikan layanan paripurna kepada putra-putri didikannya di lembaga pendidikan tersebut.

Krisis pendidikan di era sekarang ini, kadang muncul sikap 'kurang ikhlas'. Orangtua ada yang kurang ikhlas, melihat anak kesayangannya di'sanksi oleh pihak sekolah. Jangankan untuk meluruskan karakter atau akhlak sang anak, untuk sekedar menegur karena kesiangan saja, orangtua kerap kali membela habis-habisan anaknya, dan menyalahkan pihak sekolah karena memberi tugas yang kemudian menyebabkan anaknya tidur larut malam, dan berdampak pada bangun kesiangan.

Orangtua milenial dan masa kini, kadang lebih senang menyalahkan pihak guru dan sekolah, daripada mengoreksi pola perlakuan dirinya kepada anaknya di rumah.  Pihak orangtua, kerap menunjukkan seakan tidak percaya dan tidak rela, bila pihak sekolah menerapkan pendekatan pendisiplinan dalam proses didik dan pembinaan di sekolah. Padahal, sejatinya, transaksi dunia pendidikan itu harus ada saling percaya dan iklas untuk menitipkan amanah dimaksud.

Konsep ketiga, yaitu T atau  tawakal. Sebagai orang beriman, atau beragama, selepas kita mengikhlaskan proses pendidikan kepada pihak yang berwenang, maka marilah kita sebagai orangtua untuk bersikap tawakal, yaitu memasrahkan urusan diluar kendali kemanusiaan itu, kepada Allah Swt.

Dalam kata 'TITIP' ini ada I yang kedua, yakni ikhtiar. Sang pengkhotbah saat itu mengatakan, "marilah kita mengikhtiari anak kita, dengan apapun yang bisa kita lakukan, demi masa depan anak kita..". Yang terbiasa dengan shaum, niatkan "Ya Allah, aku mengiktiari masa depan anakku dengan shaum ini..". Yang bisa melakukan ibadah sunnah, lakukan ibadah sunnah sembari doa, "YA, Allah, aku ibadah sunnah karena-Mu, sembari mengikhtiari anakku supaya menjadi orang yang soleh...", dan lain sebagainya.

Lakukanlah ikhtiar bathi atau ruhani, untuk masa depan anak kita. Biarkan, urusan pengetahuan, keterampilan dan karakter menjadi urusan guru di lembaga pendidikan, sedangkan urusan bathin dan ruhaninya, mari kita sama-sama meng-ikhtiarinya. Lakukan amalan keseharian kita secara sempurna kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau Allah Swt sembari menitipkan doa untuk masa depan anak-anak kita.

Terakhir, percayalah (P). Percayalah, bahwa guru-guru yang kita amanahi anak kita, akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Percayalah dan percayakanlah kepada lembaga pendidikan mengenai apa yang menjadi kewenangannya. Percayakanlah kepada mereka untuk memperbaiki kemandirian dan kematangan anak-anak kita, melalui lembaga pendidikan kita.

Sikap percaya dan kepercayaan ini, tentunya, bukanlah kepercayaan yang buta dan bodong. Lantunkan doa, percayakanlah kepada Allah Swt, semoga Allah memberikan kekuatan kepada para guru untuk membimbing anak-anak kita, dan kita tumaninah menjalankan profesi di rumah dengan sebaik-baiknya.

-o0o-

disclaimer : kendati konsep ini merujuk Pahruroji M. Bukhori, namun pemaparan dan penjelasannya lebih bersifat pribadi penulis ! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun