Kita bisa melihatnya dari aspek yang satu ini. Penerinaan Peserta Didik Baru (PPDB) khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD-SMA), minim kompetisi tetapi kaya proteksi. Â Pernyataan ini, ada benarnya, bila kemudian dikaitkan dengan kuota PPDB yang ada dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Untuk sekedar disclaimer, sejatinya kalimat itu, tidak terlalu tepat. Karena, setidaknya ada 25 % kuota yang disediakan adalah kuota untuk jalur prestasi akademik. Untuk kelompok yang satu ini, sifatnya adalah kompetitif. Â Sisanya, kurang lebih 70% adalah kuota non-akademik, khususnya dari afirmasi ekonomi tidak mampu dan jalur zonasi. Dengan perbandingan kuota itu, maka adalah mudah dipahami bila kemudian ada pernyataan serupa itu.
Namun, perlu untuk disampaikan, dalam hal ini, sebagai tafsir pelaku pendidikan di jenjang ini, sehingga dengan harapan, bahwa masyarakat dapat memahami realitas kebijakan serupa ini.
Pertama, pendidikan dasar dan menengah, adalah hak warga negara, dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan keberlanjutan pendidikan warga negaranya. Oleh karena itu, wajar dan mudah dipahami, bila proteksi kebijakan pendidikan di jenjang ini, jauh lebih besar bercampur dengan kebijakan negara.
Hal ini berbeda dengan kewajiban untuk belajar di jenjang perguruan tinggi. Untuk bisa kuliah atau belajar di perguruan tinggi, seseorang bisa saja, mengambil pilihan gap years (jeda kuliah), atau malah tidak kuliah sama sekali dan langsung masuk bursa kerja. Pilihan itu, adalah pilihan personal. Negara memfasilitas layanan pendidikan, tetapi tidak mewajibkannya untuk memaksa warga negara kuliah. Dalam konteks itulah, kuliah di perguruan tinggi adalah hak warga negara tetapi bersifat pilihan. Berbeda dengan belajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Â belajar di jenjang ini, adalah hak hak warga negara, dan negara berkewajiban untuk memfasilitasinya !Â
Kedua, proteksi, khususnya zonasi dan EKTM (ekonomi keluarga tidak mampu), merupakan bentuk perlindungan negara terhadap kerawanan melanjutkan pendidikan.Â
Kita semua mafhum, bila tidak ada proteksi serupa ini, keluarga tidak mampu akan kesulitan untuk belajar di sekolah yang diinginkan. Sedangkan, keluarga yang ada di sekitar madrasah/sekolah, akan kesulitan bersaing dengan calon peserta didik yang berasal dari daerah luar. Bila hal itu terjadi, dan kemudian, dia terpaksa harus sekolah agak jauh dari lokasi tempat tinggal, maka kasus awal tadi (keterbatasan ekonomi) akan muncul kembali. Daripada sekolah jauh-jauh, dan mahal biayanya, mendingan kerja membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup harian. Bila pilihannya  yang terakhir itu, maka negara akan dianggap lalai dalam menjaga hak asasi warga negaranya sendiri.
Sehubungan hal itu, maka proteksi negara terhadap hak-hak warga negara terkait pendidikan, menjadi sangat penting untuk dikedepankan.
Dampak negatif dari proteksi ini, Â muncullah gejala anomali efek kebijakan. Anomalia yang kita maksudkan itu, adalah minimnya daya kompetisi pada calon peserta didik. Orangtua dan calon peserta didik yang merasa memiliki lokasi paling strategi, yaitu rumahnya di kelilingi sekolah-sekolah favorit, akan terbilang santai dan santuy belajarnya, karena ada garansi harus diterima masuk ke sekolah dimaksud, dengan alasan zonasi !Â
Itulah yang dimaksud dengan anomalia efek kebijakan zonasi. Setiap orang lebih mengandalkan administrasi kependudukan, daripada kualiats kompetisi dan intelektualitas.Â
Nah, lho....