Tidak banyak kedengaran, ada kasus orangtua protes, karena anaknya mendapat nilai C atau D di perguruan tinggi. Apapun huruf yang tertuang dalam transkrip nilai yang dimilikinya, lancar-lancar saja. Mohon maaf, mungkin karena keterbatasan informasi, tetapi sampai saat ini, rasanya tidak (banyak) ada orangtua atau mahasiswa yang protes kepada dosen pengajarnya, akibat dari  nilai yang tidak memuaskan versi dirinya atau orangtuanya. Padahal kalau dilihat dari sisi kerugian ekonomi, biaya pendidikan di perguruan tinggi jauh lebih mahal dibanding dengan pendidikan dasar dan menengah (berstatus negeri).
Lain cerita, bila ke guru, baik itu guru di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Di setiap semesternya, atau di akhir tahunnya, ada saja, cerita bagaimana orangtua protes atau komplain kepada tenaga pendidiknya, karena alasan memberikan nilai yang kurang memuaskan kepada peserta didiknya.
Bila saja, maksud dan tujuannya adalah untuk kolaborasi peran antara orangtua dan tenaga pendidik dalam membersamai pembelajaran putra-putrinya, maka hal itu akan terasa positif dan kontributif. Tetapi, lain cerita, manakala, komplainnya itu dimaksudkan untuk mengintervensi kewenangan tenaga pendidik, supaya anaknya diberikan hak untuk mendapat  nilai yang maksimal, walaupun (mungkin) kemampuannya, apa adanya. Atau, disisi lain, tenaga pendidik pun, ada pula yang memberikan penilaian yang tidak memperhatikan potensi anak didiknya.  Biasanya, ada anak yang aktif di organisasi, namun sedikit ketinggalan dalam pelajaran. Bila saja, orang serupa ini, kurang mendapat apresiasi dari guru terkait, maka komplain itu pun, akan terjadi pula kepada tenaga pendidik di maksud.
Mengapa hal itu terjadi ?
Pertama, sekedar hipotesis, jenjang pendidikan dasar dan menengah masih dominan ranah pendidikan dan pembinaan. Peran ini berbeda dengan peran yang diemban oleh perguruan tinggi. Pada jenjang perguruan tinggi, ditafsirkannya lebih menekankan pada aspek pengembangan kompetensi dan keilmuan sesuai sesuai dengan kemampuannya. Â Oleh karena itu, penafsiran terhadap nilainya berbeda. Kemampuan anak yang dinilai belum berkembang, dianggap sebagai bagain dari proses dan kewajiban pemaksimalan lembaga pendidikan dalam membimbing anak, sedangkan hasil akhir seorang mahasiswa dianggapnya (mungkin) sebagai final kemampuannya sesuai dengan usaha dan kegairahan peserta didik itu sendiri.
Kedua, kehadiran guru diharapkan bisa membantu memainkan peran orangtua dalam membimbing akhlak, melatih kemampuan dan meningkatkan pengetahuan, sedangkan kehadiran dosen di perguruan tinggi lebih menekankan (bukan berarti yang lain tidak) aspek kompetensi intelektual dan keterampilan. Untuk aspek yang terakhir ini, para orangtua hampir tidak mampu menyentuh kewenangan dosen.
Ketiga, nominal nilai buku laporan belajar (buku raport) peserta didik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, masih dianggap 'berpengaruh nyata' terhadap lanjutan pembelajarannya, misalnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, atau mutasi ke sekolah lain. Sedangkan, nilai di perguruan tinggi sudah berakhir, final atau tidak ada kelanjutannya lagi. Â Adapun terkait dengan IPK, tidak banyak berpengaruh terhadap pencarian lapangan kerja. Andai pun ada, tidak signifikans bila dibandingkan dengan kompetensi nyata dari yang dimiliki mahasiswa tersebut.
Keempat, nominal (angka) nilai raport di jenjang pendidikan dasar dan menengah, masih ditafsirkan modal buruk untuk bisa naik kelas. Sedangkan, di perguruan tinggi, nilai yang tertera pada transkrip akademik lebih berpengaruh pada nilai kumulatif seorang mahasiswa. Andaipun hendak diperbaiki, harusnya mengulang pembelajaran (remidial). Hal itu berbeda dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah, selain harus diperbaiki, mungkin malah bernasib tinggal kelas.
Terakhir, anak di jenjang pendidikan dasar dan menengah, masih butuh bimbingan dan pengawasan dari guru atau tenaga pendidik, sedangkan di  perguruan tinggi, mahasiswa sudah dianggap mandiri dan bertanggungjawab terhadap diri dan masa depannya. Oleh karena itu, manakala kemampuan dan prestasi pada anak di sekolahan belum maksimal, masih ada tuntutan kepada guru untuk memberikan tindakan (treatment) pembelajaran yang  maksimal lagi, dengan harapan anaknya bisa berkembang dengan baik. Sedangkan, untuk di perguruan tinggi, mungkin ditafsirkannya, kemampuan mahasiswanya sudah difinalkan sendiri oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan pertimbangan itu, perlukah nilai raport di jenjang pendidikan dasar dan menengah saat ini pun, tidak perlu ada Ketuntasan Minimal (KKM) atau  Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), melainkan cukup dengan huruf atau angka yang diterakan dalam buku laporan, dan biarkan objektif dan faktual, seperti halnya yang ada dalam transkrip nilai. Andaipun mau diperbaiki, yang silakan bergantung siswa/mahasiswanya, andaipun tidak, yang biarkan sebagai bentuk laporan hasil berpikirnya atau hasil belajarnya.Â
Hemat kata, bisa jadi, dalam proses pembelajaran di jenjang pendidikan dasar dan menengah pun, tidak perlu ada istilah tidak maik kelas, tetapi kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran diterapkan secara objektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H