Senin itu. Hari senin, di minggu lalu. Kami dengan rekan yang lainnya, naik kendaraan, dengan maksud untuk memberikan uang panjer atau biasa disebut 'depe' pembelian hewan kurban sebanyak 3 ekor sapi. Â Kami bertiga, dalam kendaraan, menuju lokasi ternak sapi. Lokasinya cukup jauh.Â
Bukan saja, karena lokasinya ada di luar kota, dan menuju dari perbukitan, medan dan morfologi perjalanannya pun, cukup menantang dan menguji nyali adrenalin sang driver. Beruntungnya, sang driver pernah ke  lokasi di  maksud. Sehingga, tidak sulit untuk mencapai tujuan dimaksud. Namun, bagi mereka yang baru pertama kali hadir ke lokasi ini, mungkin akan sedikit was-was di buatnya.
Dari sisi waktu, perjalanan dapat ditempuh tidak kurang dari 1,5 jam. Perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Beranggotakan sebanyak 5 orang, berangkat  untuk sekedar melihat dan menyaksikan dengan kepala sendiri, hewan kurban yang akan dibelinya.Â
"bentuk akuntabilitas..." ungkap kawan, yang kerap menggunakan dalil hukum dan politik, dalam membicarakan gerak langkah rekan seprofesinya. Hal itu, dia kemukakan, terkait alasan, bahwa hewan kurban itu adalah amanah warga yang  harus dipertanggungjawabkan kebenaran dan ketepatannya.
Selepas melakukan perjalanan jauh. Sampailah tim ini, ke lokasi peternakan sapi. Â Kang Emid, begitulah disebutnya. Nama lengkapnya, Hamid, namun entah nama panjangnya. Tetapi, dia merasa nyaman dan cukup saja, dipanggil Kang Emid. Dia mengaku, sudah lama menjadi peternak sapi, di lokasi itu, yang disebut desa "Tegal Saeutik".
"Wah, Mang Emid, sekarang lagi ramai dong, panen.." guyon teman yang turut menemani perjalanan itu. Pertanyaan itu, disampaikannya di depan Kang Emid, saat kami melepas lelah di rumahnya. Sambil makan ketela rebus, dan rebus kacang, kami ngopi sembari ngobrol ke sana ke mari.
Orang yang ditanya senyum saja. Dia tampak serius menghitung lembaran kertas, yang disodorkan teman sebagai bayaran tahap awal, sapi yang dibeli saat itu. Kang Emid, didampingi istrinya, menghitung ulang duit yang baru diterimanya siang itu. " ya, lumayan Pak.." ungkapnya dengan logat dan bahasa dari Desa Tegal Saeutik. Jawaban itu, dia lempar sambil senyum yang ditahan.
"Kang, kalau lagi sepi, atau di luar bulan-bulan kurban seperti sekarang ini, kegiatanya apa ?" mendengar pertanyaan itu, kang Emid kemudian berhenti sesaat menghitungnya. Menatap dan sambil senyum agak sedikit ragu, menjawab pertanyaan dari tamu saat itu.
"ke Bandung, Pak.." ungkapnya, "di Sadang Serang..." jelasnya lagi.Â
"Apa kerjaan di sana...", yang lain menimpali, "dagang ke pasar, atau masok barang..?"
Mendengar berondongan pertanyaan serupa itu, Kang Emid, memberikan jawaban singkat, "petugas kebersihan.." ungkapnya pendek, "itu juga tidak tiap hari.."
"Berapa kali ke Bandung dalam seminggunya ?"
"Iya, 3 hari sekali.., kan di sini punya sapi, gak bisa ditinggalin..." ungkapnya lagi, sambil menjelaskan bahwa tugas memelihara sai itu, menjadi kewajiban utama di kampung halamannya. Kandang sapinya sangat rapih dan bersih. Kami sendiri merasa heran, karena lingkungan kandang sapi itu, ada di tengah rumah perkampungan.Â
Bukan di kebun atau sawah. Kanan kiri kandang sapi, adalah rumah penduduk. "Suka ada harimau, di sini masih banyak.." ungkapnya, saat menjelaskan alasan menyimpan sapi di tengah-tengah rumah penduduk. Â walaupun di tengah perkampungan, namun, kami sangat merasakannya, bau kandang sapi tidak tercium, dan rumah sekitar masih nyaman untuk dihuni. Bahkan, kamu pun, melaksanakan shalat zuhur di mushola yang tidak jauh dari kandang sapi tersebut.
"kalau ngurus sapi saja, memangnya tidak cukup, Mang ?"Â
"Wah, susah. Pak, buat makan dari mana ?". Dia menjelaskan, bahwa di kampung ini pun, hanya beberapa orang saja, yang masih ternah sapi. Walau kanan kiri bukit dan sawah, cocok untuk ternak, namun hanya sedikit orang yang beternak sapi. "kami, mah, peternak kampungan, jadi sekedar cukup untuk makan. Jualannya pun, ramainya, setahun sekali. Kalau harian atau bulanannya, sangat terbatas.." paparnya lagi.
Di sela-sela itu, Kang Emid mengutarakan, mungkin, bisnis sapi yang dikelola orang kota, yang bisa sukses dan besar. Sementara, ternak sapi yang dikelola masyarakat, masih belum menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal. Selain pengetahuan yang terbatas, hal yang paling  mendasar adalah pemasaran yang masih konvensional.Â
Kami saja waktu itu, merasa kaget dan terheran-heran, kenapa lokasi yang sangat jauh itu, bisa ditemukan rekan kami dari kota. Ternyata, modalnya, bukan dari media sosial, namun dari perkenalanan di kota. Tidak lebih dari itu. Karena Kang Emid, ketemua di kota, kemudian bicara tentang sapi. Kebetulan banget, teman kita ada yang butuh, jadilah seperti itu adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H