Bagi seorang muslim, dengan latar belakang ilmu sosial, mungkin akan bertanya, mengapa ibadah haji diposisikan nomor 5 dalam rukun Islam, mengapa tidak dinomor  satukan ?Â
Pertanyaan ini, tentunya adalah menarik untuk diajukan, dengan maksud untuk menemukan hikmah atau makna atau ibrah atau pelajaran dari struktur pengetahuan yang disajikan dalam ajaran Islam.
Tentunya, bila kita menggunakan pendekatan hermeneutik, akan melakukan kajian terhadap struktur pengetahuan yang tergelar, dengan mencoba mencari makna atau pemaknaan dari struktur pengetahuan tersebut.
Pada level pertama, rukun Islam itu diisi dengan kalimah syahadat. Umat Islam menyebutnya, bahwa rukun islam yang pertama itu adalah mengucapkan dua kalimah syahadat, yang terkait dengan kesaksian bahwa Allah Swt adalah Tuhan, dan Muhammad bin Abdullah adalah utusan Tuhan (rasulullah).
Struktur keilmuan pada level ini, ril dalam lisan, namun abstrak dalam keilmuan. Nilai yang terkandungnya sangat abstrak dan subjektif, yakni hadir dalam bentuk keyakinan dalam diri penuturnya.  Sekalipun demikian, posisi dan perannya, sungguh sangat strategis. Bahkan dapat dikatakan, seluruh amalan yang lain, termasuk empat amal ibadah di empat rukun Islam lainnya, tidaklah akan memiliki  makna yang mulia, bila orang tersebut tidak memiliki keyakinan yang bersih dan kuat terhadap nilai dibalik kesaksian tersebut. Dengan demikian, dengan tegas dan jelas bahwa kesaksian keyakinan keagamaan ini, sifatnya sangat subjektif dan abstrak, namun memiliki nilai implikasi yang sangat luas, karena mendasari seluruh amal perbuatan seorang Muslim dalam mengembangkan tindak keagamaannya.
Selepas memiliki kekuatan jiwa dan pikiran, yakni keyakinan dan keimanan terhadap keesaan Allah Swt dan kenabian Muhammad bin Abdullah, masuk pada level kedua dalam rukun Islam, yaitu shalat. Shalat adalah rukun Islam kedua, dalam keyakinan dan ajaran Islam. Shalat adalah praktek atau ritual harian, bahkan lima kali dalam sehari semalam. Setiap muslim yang sudah mumpuni dari sisi usia dan ilmunya, berkewajiban untuk menjalankan ibadah shalat ini.
Shalat biasa disebut tiang agama Islam ('imaduddin). Artinya, ritual keagamaan yang paling pokok dalam Islam adalah shalat. Shalat bisa membedakan seseorang, sebagai muslim atau non-muslim. Tiang agama ini, akan dapat mudah dilaksanakan seorang muslim, manakala tiang keyakinan keberagamananya kuat dan kukuh, yakni keyakinan terhadap nilai-nilai yang ada dalam dua kalimah Syahadat.
Sekali lagi, bila syahadat sarat dengan muatan nilai berdimensi hati dan rasa (keyakinan, atau credos), maka ibadah shalat didominasi oleh keyakinan dan pemikiran (pemahaman terhadap aturan). Itulah yang biasa disebut ritual. Walaupun bermaksud tunduk dan patuh terhadap perintah Tuhan, namun bila tidak paham (pengetahuannya terbatas), maka orang dimaksud tidak akan mampu melaksanakan ritual keagamana dengan baik, contohnya itu, ibadah shalatnya akan batal dan tidak sah, bila tidak sesuai dengan aturan hukum Islam (fiqh).
Selepas mampu menunjukkan kepatuhan dari sisi rasa (aqidah) melalui syahadat, dan pikiran melalui ibadah shalat, kemudian rukun yang ketiga adalah melaksanakan ibadah zakat. Kenampakkan yang kasat mata, ibadah zakat itu adalah ibadah ekonomi. Prakteknya ditunjukkan dengan kesediaan dan kerelaan untuk mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk dibagikan kepada orang yang tidak mampu. Standarnya, yaitu 2,5% dari kekayaan yang dimilikinya, yang sudah terkena waktu untuk dikeluarkan zakatnya, mungkin mirip pajak dalam pemahaman orang Barat. Ada ketentuan khusus mengenai pihak-pihak yang berhak menerima zakat ini. Kelompok itu biasa dikenal dengan sebutan asnaf atau delapan kelompok yang berhak menerima zakat.
Kembali lagi, syahadat adalah ibadah hati, shalat adalah ibadah pikiran (fikih), sedangkan zakat adalah ibadah hati, pikiran dengan instrumennya ekonomi. Tujuannya adalah membangun jarak-ikatan diri terhadap kekayaan duniawi, dan berbagi kasih dengan sesama manusia.
Selepas itu, adalah membangun kebersihan jiwa, baik hati, pikiran, pola konsumsi maupun pola komunikasi dengan sesama. Instrumen peribadatannya adalah melalui ibadah shaum selama bulan suci Ramadhan. Banyak ulama mengatakan hakikat dari ibadah shaum adalah pengendalian diri, artinya mengendalikan diri dari ikatan materialisme, egoisme, rasionalisme dan juga indivdualisme. Oleh karena itu, selama satu bulan penuh seorang muslim diajari untuk menahan diri, baik hati, pikiran, lisan dan ucapan, serta  hasrat biologisnya selama bulan suci ramadhan.Â