Ramai dalam perbincangan di media sosial. Agenda pemerintah yang sehat, yakni pentingnya literasi sastra bagi generasi muda kita, diwarnai dengan dugaan ada susupan kepentingan yang memasukkan tulisan atau karya sastra yang dipersepsinya memuat narasi yang dianggap kurang tepat muncul di buku sastra yang menjadi bahan ajar sekolahan. Tema bacaan yang kurang tepat itu, yakni bacaan yang mengandung pornografi, kecabulan dan pedofelia (menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan seksual).
Menyimak perdebatan itu, ingatan kita dikembalikan pada Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) di tahun 1957. Pada waktu, OPI sudah melakukan diskusi akademik dan berkelas, dengan mengkhususkan membahas tema mengenai buku/majalah cabul. Diskusi saat itu terjadi antara Sutan Takdir Alisyahbana sebagai pembicara utama, kemudian ada tanggapan dari Hamka dan Gayus Siagian. Naskah perdebatan itulah, yang kemudian dipublikasikan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Jakarta.
Apa yang menarik dari perdebatan itu?
Pertama, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan Hamka sepakat, bahwa hadirnya buku atau majalah cabul, merupakan indikasi adanya krisis etika atau moral. Kehadiran buku tersebut, menjadi satu indikasi kecil atau cabang dari adanya krisis moralitas di tengah-tengah masyarakat kita.
Kedua, mungkin bukan sebuah kebetulan. Baik STA maupun Hamka, saat menyebut bahwa kehadiran buku/majalan/film cabul sebagai bagian dari ranting atau cabang krisis moral, hal itu digenapkan dengan hadirnya gejala lain yang setara dan atau semakna dengan narasi-narasi kekerasan seksual, atau masalah seksual.
Sekali lagi, dalam waktu yang bersamaan, ketika netizen mengkritik masuknya sastra ke dalam kurikulum pendidikan yang kecolongan dengan tulisan cabul, di daerah lain di negeri kita, sebagian dari warga memprotes dibukanya klub malam yang 'diduga' potensila menjadi fasilitas kegiatan pornoaksi.
Kemudian uniknya lagi, di media sosial, ramai pula baik itu syair dalam lagu, atau cerita pendek yang dibagikan medsos, memuat kisah mengenai perselingkuhan, pornoaksi dan sejenisnya.Â
Pertanyannya, jangan-jangan benar pendapat dari Hamka dan STA bahwa hadirnya buku/majalah cabul hanyalah ranting atau cabang dari krisis etika. Karena ranting lain yang menggenapkan pohon krisis moralitas itu, dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk lainnya. Oleh karena itu, saat STA merasa ragu pengaruh bacaan terhadap perilaku, karena belum ada riset tentang hal ini, maka menurut Hamka, realitas yang ada hari ini, baik itu terkait dengan pemerkosaan, aborsi, kekerasan fisik yang dilatari rebutan pacar, Â fenomena pelakor, PIL/WIL (pria idaman lain/wanita idaman lain) sesungguhnya merupakan data penggenap tentang krisis moral ini.
Terakhir, khususnya dalam konteks narasi kita hari ini, di sini, terkesan ada semacam krisis karya sastra. Sebagaimana yang juga diduga oleh STA dan Hamka, bahwa munculnya buku/majalah cabul itu, mengindikasikan minimnya karya sastra yang menarik yang mampu mengisi jiwa pemuda kita.Â
Sebagai sasterawan kita harus mengakui, bahwa sebagian daripada berkuasanja karangan  jang tjabul itu adalah kegagalan kita memberi batjaan jang tjukup menarik, jang sesungguhnja berdjalin dengan kehidupan masjarakat kita dan teristimewa dapat rnendjiwai pemuda kita (Sutan Takdir Alisyahbana, 1957)
Artinya, sekedar bertanya saja, pada saat penyusun bahan ajar sastra yang kini didebatkan netizen itu menyajikan wacana cabul, apakah hal itu menunjukkan bahwa di negeri kita, kekurangan karya sastra yang berkualitas dan bermartabat ? apakah, hal itu menggambarkan penyusunnya kurang 'piknik' mengenai karya sastra yang berkualitas ? atau memang ada motif lain dalam menyajikan narasi serupa itu ?!