Sulit ditemukan, tindakan manusia yang memiliki karakter tunggal. Di era citra dan pencitraan ini, setiap tindakan manusia, kerap kali dihinggapi oleh multimotif, multirencana, dan multitujuan. Sulit jadinya, untuk menemukan sebuah tindakan manusia moderen di era informasi ini, yang memiliki karakter, motivasi, atau efek tunggal. Sebab dan akibat dari tindakan manusia, termasuk jenis kegiatan study tour yang dilaksanakan oleh sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan pra sekolah, sampai perguruan tinggi sekalipun, akan potensial memiliki nilai dan efek plural baik terhadap pelaku maupun lingkungan sekitarnya.
Orang yang belanja di supermarket saja, motif dan kebutuhan dasarnya, tidak murni ekonomi. Terlebih lagi, bila proses belanjanya kemudian update di media sosial. Maka proses dan praktek belanja di supermarket itu, memiliki banyak motif dan banyak efek. bukan sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi, namun juga kebutuhan emosi, subjektivias, gensi sosial dan juga pencitraan, atau memanipulasi identitas diri dihadapan pembaca media sosial miliknya. Inilah realitas kehidupan kita saat ini, yang hingar bingar dihinggapi oleh banyak niat dan tujuan, serta multiefek.
Sehubungan hal ini, maka adalah sulit untuk dipahami, jika kalangan legislatif, memberikan narasi bahwa study tour perlu dihapuskan bila diarahkan ke lokasi wisata, dengan alasan nilai study-nya jauh lebih kecil dibanding dengan lokasi selain itu. Sikap serupa itu, tentunya memiliki motif yang plular dan efek yang sangat bersayap.
Mencermati sikap atau pernyataan  dari Komisi IX DPR itu, boleh diduga bahwa kritikan itu bisa mengandung makna politis, tetapi juga sekedar pencitraan belaka. Politik, memberi tekanan kepada lembaga eksekutif khususnya kementerian yang menaungi lembaga pendidikan, sedangkan aspek citranya, dia dapatkan sebagai orang yang dianggap memiliki kepekaan dan simpati kepada korban kecelaan, atau kepentingan publik saat itu. Dengan kata lain pula, maka sikap dan pernyataan itu, tidak tunggal sekedar memberikan koreksi terhadap model study tour, namun memiliki  muatan politis membangun citra-positif dirinya dan lembaganya dihadapan publik.
Kembali dengan persoalan study tour atau karya wisata, yang selama ini dapat kita perhatikan, atau mungkin juga pernah kita alami dan jalani selama di dunia pendidikan, rasanya akan menguliti motif-motif sosial tertentu, sehingga kegiatan itu menjadi steril khusus untuk dunia pendidikan semata. Michael Foucault, adalah filosof yang memiliki gagasan, dan kecerdasan dalam melakukan eksplorasi terhadap makna pengetahuan secara mendalam. Konsep arkeologi pengetahuannya, dimaksudkan untuk menguliti sebuah ideologi yang menyelimuti dunia pengetahuan, termasuk teknologi dan sains. Dalam konteks ini, pendekatan ini, bisa digunakan untuk menguliti ideologi atau kepentingan dari pelaku dan pelaksana kegiatan studi tour.
Amatan sepintas lalu, study tour yang dilaksanakan, bukan hanya oleh lembaga pendidikan, tetapi juga oleh lembaga sosial, dan bahkan lembaga pemerintahan dengan atas nama studi banding, pada dasarnya, hampir bisa dipastikan tidak bisa dilepaskan dari tiga unsur dasarnya, yaitu healing (rekreasi), perjalanan (touring), dan belanja (shopping). Â Ketiga aspek ini, secara kuat berjalin kelindan dalam membungkus ideologi study tour atau study banding yang dilakukan oleh siapapun, ke manapun dan dengan tujuan formal apapun. Ketiga aspek ini, sejatinya merupakan simbol hasrat (desire) manusia, baik yang menyangkut aspek emosi-subjektif, gerak-fisik, maupun ekonomi-kapitalis.
Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah, maka kemudian, seseorang atau sekelompok orang akan menginventarisi, memilah, dan memilih atau menetapkan satu tempat tujuan wisata. Pilihan lokasi wisata (karya wisata atau stduy tour) rasa-rasanya, tidak akan lepas dari ketiga komponen ini. Adalah sulit dipahami, jika membawa peserta didik yang masih belia dan massal, mengajak melakukan perjalanan ke sebuah tempat, tanpa menawarkan aspek healing, touring dan shopping-nya. Â Bila tawarannya diberikan kepada kelompok backpacker atau petualang, mungkin jadi, 2 diantara 3 hal tadi itu tidak ada, tidak menjadi masalah, sepanjang ada dinamika touring yang memberikan stimulasi kegairahan dalam perjalanan. Namun demikian, akan lain ceritanya, bila sebuah perjalanan ditawarkan kepada anak-anak belia, anak sedang belajar, seperti anak pendidikan dasar dan menengah, dengan mengandalkan isu touring saja !
Selaras dengan asumsi dan alasan seperti inilah, maka pandangan sang legislator yang berusaha memisahkan sisi healing dalam konteks touring (study tour), merupakan sesuatu yang tidak realistis dalam konteks sosial dan pemasaran konsep dan gagasan kepada peserta didik. Â Bukankah kita akan setuju, lingkungan dan proses pembelajaran yang baik dan sehat itu, manakala mampu memadukan prinsip learning dan healing ? belajar menjadi tidak stress, namun menarik dan enjoy untuk dijalani dan dilakukan oleh para peserta didik.
Kesimpulan dari narasi itu, setidaknya, perlu disampaikan bahwa study tour yang menarik itu, adalah manakala mampu meramu tarikan nilai antara learning, touring, healing, dan juga shopping. Setidaknya, keempat hal inilah, yang kerap kali menjadi daya tarik generasi muda untuk belajar di luar dan kelas, dan mengunjungi ke satu lokasi pembelajaran.
Kendati mengunjungi laboratorium Boscha di Lembang, misalnya, kendati nuansa ilmiahnya tinggi, namun suasana touring, shopping (souvenir lokasi dan identitas lokasi wisata), nilai healing bagi pelakunya, akan tetap menjadi nilai kumulatif dalam melahirkan kepuasan dalam penyelenggaraan study wisata.Â
Hal yang perlu digaris bawahi, kita sepakat dan sekali lagi, perlu diwaspadai, jangan sampai, motivasi ekonomi melampaui niat dan tujuan semula dari program study tour itu sendiri. Untuk hal yang terakhir ini, kita sepakat dan tanpa komentar !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H