Saya sendiri, dalam posisi tidak menyadari kondisi diri. Maksudnya, apakah kesadaran ini, lahir dari sebuah kesadaran atau kecemburuan. Sadar terhadap perkembangan diri dan spiritualitas seseorang, atau cemburu karena belum bisa mengerjakan, sebagaimana yang orang lain kerjakan. Namun, karena, terbersit kilatan inspirasi atau pencerahan disaat menyimak penjelasan mengenai walimatus safar, tetaplah rasanya ingin menyampaikan hal ini di sini, di platform ini.
Betul. Pagi itu. Menghadiri acara walimatus safar, atau pertemuan kangen-kangenan mendoakan  orang yang akan berangkat haji ke Baitullah, Makkah al-Mukarramah. Ritual tahunan umat Islam, dan kewajiban sekali seumur hidup bagi seorang muslim. Status kewajibannya pun, adalah wajib bagi yang mampu (man istatho'a ilaihi sabila).
Kegiatan walimatus safar itu sendiri, bukan bagian dari ibadah haji. Kegiatan ini tidak ada kaitannya dengan syarat sah, rukun, atau amalan yang ada kaitannya dengan ibadah haji atau umrah. Walaupun demikian, pelaksanaan walimatus safar ini tidaklah mudah, tidak sederhana, dan tidak murah. Silahkan, dibayangkan dan dihitung sendiri oleh pembaca, jika ada seorang muslim yang menyelenggarakan walimatus safar di rumah atau dikantornya.
Dari konteks itulah, di tengah-tengah pertemuan itulah, hadir sebuah kilatan pemikiran dan menghentakkan kesadaran dan penyadaran terhadap diri ini. Apakah hal inilah, yang kemudian mengingatkan kita mengenai hakikat haji dan umrah, atau bisikan syetan dalam meninabobokan orang-orang pemalas. naudzubillahi min dzalik. Aku berlindung kepada Allah, dari gangguan syetan yang terkutuk.
Pertama, haji syar'iah. Pengkhutbah kerap menyampaikan, dengan penuh harap dan doa, semoga orang-orang yang berangkat haji dan umrah, mendapat gelar haji mabrur (haji yang baik dan berkualitas). Percayalah, untuk sampai pada derajat ini, dan dalam tahapan yang pertama ini, setiap peserta ibadah haji dan umrah, akan mudah mendapatkan dan meraihnya.Â
Mengapa ?
Haji syari'ah yang kita maksudkan adalah praktek ibadah haji yang dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya. Selepas dia melaksanakan niat, miqat, kemudian melaksanakan sejumlah rukun-rukun haji yang lainnya, hingga wukuf di Arafah dan tahallul, maka lengkap sudah dan sah sebagai seorang haji yang syari'ah. Bisa jadi, kemampuan penunaian ibadah haji dan umrah seperti itu, sudah bisa mencakup derajat haji mabrur.
Hanya saja, cukupkah sampai di sini ?Â
Sebelum menjawab hal ini, kita diingatkan Rasulullah Muhammad Saw terkait dengan ritualitas yang kehilangan esensi, saat melaksanakan ibadah shaum Ramadhan. Rasulullah pernah bersabda, Kam min shoimin laisa lahu min shoumihi illa-l-ju' wa-l-'athos. Banyak diantara manusia, yang melaksanakan puasa ramadhan, dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali sekedar lapar dan haus belaka. Ini adalah evaluasi dan refleksi kritis Rasulullah Muhammad Saw, sekaligus pengingat dan penyadaran kepada umatnya, supaya tidak terjebak dalam ritualitas syari'ah belaka.
Sekaitan dengan ini, boleh kita menurunkan gagasan itu, menjadi sebuah rumusan, jangan-jangan,Â
"Banyak orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah tidak mendapatkan apa-apa dari ibadahnya kecuali keletihan dan kesia-siaan.".
Bila demikian adanya, apa yang harus dilakukan ?Â
Langkah selanjutnya adalah meningkatkan kesadaran ibadah haji dan umrah kita kepada level yang kedua, yaitu haji fikrah.
Kedua, haji dan umrah fikrah. Maksud level kedua ini, adalah menghajikan dan mengumrahkan pikiran. Kita perlu hati-hati dan waspada, karena sejatinya, irisan dan gelitikan syetan kepada manusia itu tidaklah berhenti. Tanpa bermaksud untuk mempersulit praktek ibadah ini, namun, sadarkah kita, bahwa haji itu tamasya spiritual, namun bukan untuk meningkatkan gensi sosial, kebanggaan status, atau identitas kemampuan diri yang perlu ditonjolkan kepada masyarakat pada umumnya.
Bisa jadi, dengan harta yang dimilikinya, banyak orang yang mampu melaksanakan ibadah haji dan umrah. Tetapi, dengan status haji syari'ah itulah, akankah dia mampu menghajikan atau mengumrahkan pikirannya, sehingga benar-benar hanya untuk Allah Swt, dan bukan untuk meningkatkan status sosial di tengah masyarakat ?
Lha, bagaimana dengan haji dan umrah sebagai bagian dari momentum meminang calon istri  atau calon suami ? ini adalah motivasi yang beragam dibalik pelaksanaan ibadah syari'ah. Di sinilah, pentingnya, kita memahami haji secara tepat, sehingga kita bisa naik derajat menuju ma'rifatul hajj wal umrah dengan lebih baik.
Pada level terakhir, yang ingin disampaikan di sini, yakni potensial kita menarasikan status haji hakikat. Penulis sejatinya belum sanggup untuk menjelaskan hal ini. Namun, yang terbersit saat ini, haji hakiki bukanlah haji karena kemampuan ekonomi, dan bukan juga karena kita memahami masalah rukun dan syarat haji. Haji hakiki mungkin (maaf, karena penulis sendiri belum sampai ke level ini), kondisi spiritual manusia yang mampu memokuskan orientasi hidup hanya untuk Allah Swt, dan bisa mentawafkan hati dan pikirannya kepada pusat keilahiahan (dengan simbol kabah).
Di level ini, hasrat ekonomi, hasrat sosial, hasrat surga, kekhawatiran neraka, baur atau malah sirna dibuatnya. Orientasi dan imajinasi yang hadir dan terhadirkan adalah keagungan dan keesaan ilahiah, Allah Swt.
Wallahu alam bis shawwab.... Â maaf, penulis tidak sanggup lagi untuk bicara di level ini di sini....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H