Paparan ini lebih mengacu pada pengalaman pribadi, sebagai guru Geografi. Secara kebetulan pula, bahwa dalam mata pelajaran ini, terdapat pokok bahasan mengenai mitigasi bencana, yang disampaikan di  kelas XI.Â
Semalaman ikutan webinar nasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang (UNP). Pelaksanaannya, sekitar pukul 19.00 WIB. Sehingga cukup leluasa untuk mengikuti dan menyimaknya dengan seksama. Memang tidak lama, pelaksanaan webinar tersebut. Tetapi pesan moralnya, sangat mengenai, khususnya bila dikaitkan dengan kasus aktual di Sumatera Barat yang tengah dihadapkan pada bencana banjir saat itu.
Turut doa untuk duka yang dialami oleh saudara kita di sana, setidaknya dengan membacakan surah Alfatihah, bagi pendoa muslim. amin.
Pada obrolan malam itu, muncul sebuah kesadaran kolektif, bahwa pembelajaran mitigasi bencana itu, merupakan sebuah keniscayaannya, kemestian, dan sangat mendesak. Hal itu bukan karena kontennya yang sangat baik, melainkan karena fungsinya sangat strategis bila dikaitkan dengan kebutuhan dasar bangsa Indonesia saat ini, atau masyarakat kita saat ini.
Persoalannya, bagaimana cara menerapkannya dalam lingkup pembelajaran?
Setidaknya ada dua pemahaman dasar yang biasa tumbuh dalam nalar kita sebagai penyelenggara atau pelayan pendidikan di persekolahan.
Pertama, layanan pendidikan mitigasi bencana diberikan sebagai mata pelajaran khusus, atau pokok bahasan khusus kepada peserta didik. Sistemnya, tentunya sudah tentu dititip ke salah satu mata pelajaran atau rumpun yang berdekatan. Misalnya program IPS atau mata pelajaran Geografi, atau  Biologi. Penalaran serupa ini, merupakan pandangan umum, dan bisa menjadi opsi utama dalam pilihan yang bisa digunakan dan dikembangkan di persekolahan.
Bila saja, ada yang  berminat dengan pendekatan pertama ini, kecenderungan akan memberikan dampak-nyata terhadap penambahan beban belajar dan beban mengajar. "Waduh, nambah jam dong..." cetusnya, dan ada pula yang mengatakan, "wah, ada mata pelajaran baru lagi, ya..." teriak yang lainnya.Â
Pengalaman serupa ini, pernah terjadi, di masa lampau, seiring ada muatan-muatan lokal atau daerah yang dimaksudkan untuk memberikan pembekalan kenasionalismean atau kecintaan kepada lingkungan dan daerah masing-masing. Niat baik itu, malah kemudian menjadi beban belajar atau beban mengajar kepada keluarga besar pendidikan.
Kedua, pilihan layanan pendidikan inklusif. Artinya, gagasan atau pesan moral dari penyadaran pentingnya mitigasi bencana diberikan secara  inklusi pada setiap guru atau mata pelajaran, tanpa harus menyertakan pokok bahasan khusus kepada peserta didik. Pilihan ini, relatif lebih lunak dibanding dengan pilihan pertama. Pada pilihan kedua ini, tidak ada pokok bahasan khusus atau mata pelajaran khusus, melainkan (misalnya) menambah indikator pembelajaran pada pelajaran yang relevan.
Lha kok bisa?
Tentunya, hal ini, akan berkaitan dengan makna dan pemaknaan kita terhadap konsep bencana itu. Kalau yang dimaksud dengan bencana itu, adalah bencana alam, tentunya pelajaran geografi, biologi, fisika atau kimia akan sangat berkepentingan. Tetapi, bila dikaitkan dengan bencana sosial atau teknologi, maka pelajaran PKN, ekonomi, atau yang lainnya pun akan jauh lebih berkepentingan dibanding dengan mata pelajaran Geografi.
Selain kasus bencana alam di Sumatera Barat, pada dua minggu terakhir ini, ada musibah terjungkalnya bus karyawisata yang membawa rombongan peserta didik. Tentunya, persoalan kecelakaan itu, bukan karena nama kegiatannya. Sekali lagi, maaf, kecelakaan itu bukan karena nama kegiatannya disebut Karya Wisata, sehingga tidak rasional kalau harus menyalahkan program Karya Wisatanya.Â
Hal yang perlu dikritisi itu adalah mitigasi bencana dalam kegiatan transportasi. Misalnya, kealpaan kita dalam mengecek kelayakjalanannya kendaraan, kesehatan sopir, dan juga kepatutannya di perjalanan dan lain sebagainya.Â
Semua hal itu, pada dasarnya adalah masuk dalam kategori mitigasi bencana. Pengalaman, dan penyadaran mengenai pentingnya mitigasi bencana transportasi, tentunya bukan hanya kewajiban mata pelataran geografi atau biologi, melainkan juga mata pelajaran lainnya.
Sehubungan hal ini, berdasarkan pengalaman dan kegiatan tadi malam itu, terpikirlah sudah bahwa pendidikan mitigasi bencana itu, adalah perlu diselenggarakan oleh semua pihak, dan untuk semua orang.
Penyadaran tentang perlunya mitigasi bencana, perlu dilakukan secara masif oleh semua orang, baik guru, pemerintah, aparatur pemerintah, termasuk orangtua dan tokoh masyarakat atau tokoh agama. Semua pihak perlu memberikan penyadaran dan penyadaran kolektif kepada seluruh elemen masyarakat di sekitar kita.
Kemudian hal yang tidak boleh diabaikan pula, bukan hanya perlu melibatkab banyak orang, namun kepentingan pendidikan mitigasi bencana ini pun, adalah semua orang, atau pendidikan bencana untuk semua (disaster education for all). Tanpa kecuali. Pengusaha dan pemilik hak guna lahan dan kekayaan hutan, pun, bahkan WAJIB mendapat pencerahan mengenai program mitigasi bencana ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H