Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Banyak Perusahaan Bangkrut, Padat Karya atau Modal, No! Kaya Kreasi, Yes!

9 Mei 2024   04:15 Diperbarui: 9 Mei 2024   05:31 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI INDUSTRI PADAT KARYA | KOMPAS/PRIYOMBODO

Ada informasi yang perlu untuk dicermati. Pabrik sepatu milik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, yang telah berdiri sejak 1994, resmi ditutup per 30 April 2024. 

Menurut informasi di media, Director and Corporate Secretary BATA Hatta Tutuko dalam keterangannya kepada BEI pada 2 Mei 2024 menjelaskan alasan dari penutupan pabrik di Purwakarta karena perusahaan tak mampu lagi melanjutkan produksi di pabrik sepatu Purwakarta. Hatta menjelaskan permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di pabrik juga terus menurun. 

Atmosfera Perusahaan Padat Kreasi (sumber: pribadi, bing.com) 
Atmosfera Perusahaan Padat Kreasi (sumber: pribadi, bing.com) 

Kemudian, di tahun sebelumnya, Ketua APINDO Jawa Barat Ning Wahyu Astutik mengatakan, banyak pabrik/perusahaan yang tidak bertahan dan akhirnya tutup dan berdampak pada ribuan orang kehilangan pekerjaan.  

Dari catatan APINDO Jawa Barat hingga saat ini sedikitnya ada lima perusahaan yang akhirnya tutup, yakni PT. Dean Shoes Karawang (alas kaki) sekitar 3500 orang pekerja, PT. Besco Indonesia Karawang (alas kaki) sekitar 4000 orang, PT. Manito World Kabupaten Sukabumi (garmen) kurang lebih 1800 orang. Kemudian PT Eins Trend Purwakarta (garmen) dengan karyawan kurang lebih 4000 orang dan PT. Simone Accessary Collection Bogor (garmen) dengan kurang lebih 1000 orang pekerja.

Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi? Akankah hal ini, menunjukkan bahwa industri padat karya, merupakan jenis dari industri yang tidak kompetitif pada zaman ini dan masa depan? 

Di kala, dunia sudah mulai beralih dan akrab dengan teknologi dan kecerdasan buatan, akankah jenis-jenis pekerjaan padat karya akan berguguran dengan sendiri dalam sejarah ke depan?

Dalam hal ini, ada dua istilah yang sudah familiar dalam lisan kita. Istilah pertama, yaitu industri padat karya. Menurut informasi umum, padat karya merupakan kegiatan pembangunan proyek yang lebih banyak menggunakan tenaga manusia jika dibandingkan dengan tenaga mesin. Menggunakan tenaga manusia dalam jumlah besar. 

Dalam masa-masa tertentu, misalnya, di masa kampanye pilpres atau kepala daerah, program padat karya bisa menjadi daya tarik masyarakat kecil. Mereka butuh pekerjaan dan penghasilan, dan elit politik putuh simpatik dan suaranya. Karena itu, tidak aneh bila program padat karya kerap kali diluncurkan oleh incumbent dalam pilkada atau pilpres.

Tentunya, dengan hadirnya teknologi dan produk berbasis kecerdasan buatan, jenis-jenis tenaga kerja manusia kasar sudah mulai digantikan dan tergantikan. Manusia pekerja kasar sudah mulai tergantikan oleh robot. 

Oleh karena itu, fenomena yang terungkap dalam awal narasi ini, memberikan pembuktian dan pembenaran terhadap ancaman hilangnya sejumlah jenis pekerjaan atau profesi modern (profesi pabrikan) di era milenial ini. 

Kejadian ini mempertegas, bahwa kehadiran AI akan menggerus sejumlah pekerjaan 'kasar' berbasis otot, oleh model tenaga-kerja yang baru yang berbasis teknologi atau kecerdasan buatan.

Selaras dengan argumentasi itu, apakah kemudian, jenis industri padat modal akan menjadi primadona, dan menggantikan jenis indutrasi padat karya? 

Untuk mengenali istilah ini, kita perlu tahu dulu, makna dasar dari industri padat modal. Sekali lagi, dalam pengetahuan umum yang dimaksud dengan industri padat modal merupakan industri yang dibangun dengan modal besar dan didukung dengan teknologi tinggi. Industri padat modal termasuk industri dasar atau indutri hulu seperti mesin, logam dasar, atau industri elektronik.

Bila penjelasan itu, digunakan, lantas mengapa Nokia mengalami masalah yang memprihatikan? 

Kita mengetahui, Nokia sempat menjadi primadona di masa keemasannya. Namun sekarang, divisi produsen ponsel asal Finlandia tersebut bangkrut. Dalam waktu kurang dari satu dekade, Nokia muncul untuk memimpin revolusi ponsel. 

Pada puncaknya, Nokia menguasai pangsa pasar ponsel global lebih dari 40 persen. Namun posisinya di puncak hanya sebentar, penurunan bisnis Nokia dimulai dengan penjualan bisnis telepon selulernya ke Microsoft pada tahun 2013. 

Tentunya, bila dikatakan bahwa pergeseran jenis industri itu akan beralih dari industri padat karya ke padat modal, mestinya Nokia tidak mengalami kebangkrutan. Setidaknya, karena industri ini sarat dengan modal dan teknologi canggih. Namun mengapa Nokia mengalami kebangkrutan?

Di sinilah, kita menemukan ada celah kesadaran baru, bahwa pergeseran paradigma pemikiran itu, bukan dari industri padat karya ke padat modal, melainkan menuju industri karya kreasi (padat inovasi). 

Artinya, efektivitas organisasi dalam merespon kebutuhan dan perkembangan zaman, diduga akan memberikan pengaruh nyata terhadap kemampuan organisasi (perusahaan) untuk bisa bertahan. Kealpaan terhadap pentingnya inovasi (kreasi) Nokia dalam merespon perkembangan zaman itulah, yang kemudian menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan performa perusahaan.

Pada perusahaan serupa ini, jumlah manusia semakin minim, pemanfaatan teknologi sangat masif dan intensif, tetapi kreativitas dan produktivitas dari sumberdaya manusia sangat menentukan !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun