Rasanya, sebagai warga Negara tidak memiliki kekuatan apa-apa. Karena itu, adalah wajar bila mencari dan menemukan jalur curhatan yang bisa dijadikan ruang ekspresinya. Bagi warga negara, saat satu pintu komunikasi terhambat atau tertutup, maka akan dicari sedemikian rupa sehingga, ada jalur alternatif yang bisa dimanfaatkannya.
Seperti hari ini, dan di sini. Ruang curhat, dalam sebuah media tulisan, menjadi ruang ekspresi yang paling bersahabat. Walaupun penulis sendiri tidak begitu yakin dengan curhatan ini, apakah ini disebut ekspresi politik, etik, sosial, atau kefrustasian. Hal penting dan menjadi pokok soal yang ada dalam benak penutur, yakni kesempatan mencurahkan persepsi dan pemahaman mengenai ragam hal yang terjadi, pada hari-hari terakhir.
Memang, kemampuannya sekedar curhat. Curhat inilah satu-satu senjata yang bisa digunakannya. Mudah-mudahan, kendati lebih merujuk pada pengalaman pribadi, atau pengalaman subjektif, namun curhatan ini tetap bisa digunakan sebagai bagian penting dalam memotret perilaku warga negara dalam membela bangsa, harga diri, martabat, dan ego manusia dan kemanusiaan, yang  tumbuhkembang di tengah hiruk pikuk kebangsaan ini.
......
Sebagai warga Negara, saya tidak memiliki kekuasaan atau lebih tepatnya tidak memiliki banyak kekuatan. Tidak banyak kuasa yang dimiliki, kecuali berkuasa untuk menjaga kedaulatan nalar dan nurani ini tetap mau hidup dan bicara. Itulah kekuasaanku saat ini. Sehingga, saat tangan ini dibelenggu, atau kaki ini diikat dan terikat, atau mulut ini dibungkam oleh kekuasaan, namun nalar dan nurani ini masih tetap berkuasa, setidaknya dirawat untuk tetap memiliki kedaulatan dalam berekspresi dan mengapresiasi.
"Kamu ngeyel..." bentaknya, "Saya pemilik wilayah ini..." ungkapnya dengan nada keras, layak sebagai seorang aparat militer. Suara lantang, menggema di seputaran tempat kemah Pendidikan madrasah saat itu. Suara itu, benar-benar sangat menggema, mengalahkan pengeras suara yang dipakai para panitia. Pengeras suara yang sedari tadi pagi di pakai pun, serta merta berhenti, saat sang Komandan mengumpulkan seluruh panitia kemah Pendidikan.Â
Suara lantang, mungkin itulah yang ingin dipertontonkan sang "Komandan". Tetapi, bagi kami, suara itu, terasa sebagai sebuah bentakan emosional. Pernyataan yang dilakukan secara berulang-ulang, dan suara yang cenderung dominan serta menekan pandangan beda dari dirinya, muncul bak senapan otomatis yang memuntahkan mesiu tanpa kompromi. Cukup sang Komandan yang berbicara,  sementara empat atau lima orang guru madrasah, termangu, dan terdiam dihadapannya. Sebagian diantaranya ada yang merunduk, kaget dan tidak mengerti dengan perbuatannya. Sementara yang  lainnya, masih tetap memberikan tanggapan terhadap ragam komentar dari Sang Komandan.
Karena tanggapan balik dari sebagian panitia Madrasah itulah, sang Komandan seakan murka, dan kemudian mengeluarkan kalimat-pengunci kekuasaannya secara berulang-ulang. "Kamu ngeyel..., kamu tahu kan, Saya pemilik wilayah ini..."
"gak, maksudnya itu, kenapa, diberhentikan, ada masalah apa?" tanyaku lagi.
"mana SOP kamu, kalau ada anak-anak, kenapa-kenapa, memangnya kamu tanggungjawab...? Sudah, semua kegiatan hentikan. Ini perintah..!" ungkapnya lagi, dengan mata membelalak, dan telunjuk mengarah lurus ke wajah kami semua yang hadir di depannnya.