Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jepang, Islam, Intelektualisme dan Literasi

3 Mei 2024   04:49 Diperbarui: 3 Mei 2024   05:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) baru saja dilalui. Sejumlah pernyataan, pengakuan, kritik, atau koreksi terlontar. Setidaknya, itulah kebisingan yang terjadi di sejumlah artikel, khususnya dalam konteks meramaikan peringatan hari pendidikan nasional. Analisis, komentar, tanggapan, ataupun apapun nama jenis komentarnya, dapat dengan mudah kita temukan di sejumlah platform media sosial di sela-sela peringatan hari pendidikan nasional, di negeri kita ini.

Namun ada satu hal yang tidak banyak dibicarakan orang, yakni posisioning pendidikan dan atau dunia pendidikan dalam konteks kehidupan di negeri ini ?!

Alkisah, kondisi Jepang pasca bom atom sungguh sangat memprihatinkan. Pasukan Sekutu melakukan penyelesaian peperangan dengan cara membombardir dua kota besar di Jepang dengan ledakan nuklir. Sejarah bom atom Hiroshima dan Nagasaki membuat dunia tercengang. 

Di saat keadaan negara sudah sedemikian hancurnya, kaisar Hirohito bukannya bertanya tentang berapa tantara yang tersisa, namun justru menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa saat pertama kali mendengar negaranya telah luluh lantak oleh bom nuklir yang dijatuhkan tentara Amerika Serikat itu.

Ada yang menjelaskan bahwa, di awal kisahnya itu, sejumlah  jenderal menjawab dengan tegas kepada Kaisar bahwa mereka mampu menyelamatkan dan melindungi Kaisar tanpa bantuan guru. Mereka heran mengapa sang kaisar justru mempertanyakan tentang guru alih-alih kondisi kemiliteran mereka. Kemudian Kaisar Hirohito menjelaskan kepada mereka bahwa Jepang telah jatuh dan hal itu dikarena karena mereka tidak belajar. 

Jepang memang kuat dari segi persenjataan dan strategi perang. Tapi nyatanya mereka tidak mengetahui bagaimana cara membuat bom yang dahsyat seperti yang telah membumi hanguskan kota Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar berpendapat kalau mereka semua tidak dapat belajar,  bagaimana mungkin mereka akan mengejar ketertinggalan mereka dan bangkit lagi dari keadaan ini.

Kisah yang sejenis, terjadi pula dalam konteks peradaban Islam. Al-kisah, setelah Nabi Muhammad wafat pada 632, terjadi Perang Yamamah.  Pertempuran Yamamah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Kala itu, ia mengutus Khalid bin Walid untuk memimpin pertempuran tersebut. 

Mengutip buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Pertempuran Yamamah terjadi pada bulan Desember 632 M di Jazirah Arab, wilayah Yamamah. Akibat dari peperangan itu, diketahui setidaknya ada sekitar 50 qari (pembaca dan penghafal al-Qur'an), termasuk Salim maula Abu Hudzaifah, meninggal dunia. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 Hijriyah.

Melihat kondisi serupa itu, muncul kekhawatiran akan punahnya Al Quran di benak Umar bin Khattab. Hal ini disebabkan banyak para penghafal Al Quran yang gugur saat berperang melawan kemurtadan dan nabi palsu. 

Oleh karena itu, Umar bin Khattab kemudian mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al Quran. Mendengar usulan Umar bin Khattab, pembukuan Al Quran pun dimulai pada masa Khalifah Abu Bakar. Khalifah Abu Bakar kemudian melakukan kodifikasi atau pengumpulan naskah-naskah Al Quran. Kodifikasi Al Quran era ini ditandai dengan penyusunan Al Quran dalam suatu naskah yang rapi dan berurutan.

Ada dua hal menarik terkait dengan strategi kebangkitan dua peradaban itu. Jepang, negara modern memulai penataan kehidupan bangsa dan negaranya, dengan memuliai memberikan perhatian terhadap guru, tenaga pendidik, atau bahasa modernnya intelektualiasme.  Sementara, peradaban Islam, selepas perang Yamamah, Umar bin Khaththab memberikan perhatian terhadap kode intelektualisme, atau bahasa modernya adalah sumber literasi keadaban.

Kedua hal itu, intelektualisme dan literasi, adalah kode-koder peradaban yang menjadi awal kebangkitan Jepang sebagai negara ekonomi modern, dan juga peradan Islam yang kemudian memunculkannya sebagai peradaban modern yang menyebar ke seluruh dunia. Di akui atau tidak, di awal sejarah itu, Islam menjadi inspirasi peradaban dan atau jembatan peradaban dari Yunani ke peradaban modern yang kita nikmati  hari ini.

Sehubungan hal ini, muncul sebuah pertanyaan klasik bagi bangsa Indonesia saat ini, dimanakah posisi pendidikan kita hari ini ? akankah pendidikan menjadi subjek keadaban atau sekedar menjadi objek politik, objek projek, atau narasi belaka, dibanding dengan menjadikannya sebagai sebuah motor penggerak dan modal dasar keadaban dan peradaban ?!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun