Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jangan-jangan, Derita adalah Kesabaran yang Salah Tempat!

2 Mei 2024   04:44 Diperbarui: 2 Mei 2024   05:19 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menunggu Pesanan (sumber : pribadi, bing.com) 

Entahlah, apakah karena salah waktu, atau karena baru pertama kali ke lokasi makan hari ini. Menurut pengalamanku, kejadian hari ini, kurang begitu menyenangkan, atau tidak memberikan kepuasan yang sempurna.

Ya. Hari itu, sebut saja, bersamaan dengan hari buruh internasional. Bersama keluarga, berkesempatan untuk mencoba makan di sebuah rumah makan. Lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal. Di sekitaran Bandung. Akomodasi bisa dijangkau dengan ragam cara. Naik roda empat bisa, angkutan umum bisa, roda dua bisa, bahkan, mungkin dengan jalan kaki juga bisa walau dengan memakan waktu yang cukup lama. Ya, maksudnya, untuk daya jangkau kendaraan ke lokasi tersebut, tidak sulit dan menyulitkan. Pokoknya, begitulah ceritanya.

Datang sekitar pukul 12.30-an. Waktu yang ideal untuk makan siang. Sekeluarga berangkat, selepas melaksanakan shalat dzuhur di rumah, dan kemudian langsung berangkat. Seperti biasanya, dan seperti dugaan istri, bahwa di lokasi makan itu, akan terjadi antrian. Dugaan itu pun, terjadi duga. Antri. Bila diukur dengan satuan panjang, mungkin sampai 5- 7 meter dari titik kasier. Ukuran serupa itu, menurut kisah mereka tidak terlampau panjang dibanding dengan hari-hari sebelumnya, yang biasa sangat-sangat mengular ke arena parkiran.

Saya sendiri kebagian tugas mengawasi dan mengajak bermain anakku yang paling kecil, sambil mencari-cari lokasi tempat duduk yang memungkinkan. Sementara istri dan anak cowokku, ada yang ikutan antri untuk memastikan pesanan bisa disampaikan kepada pihak penjual jasa tersebut.

Sangat beruntung. Untuk hal yang satu ini, perlu disampaikan demikian. Di samping antrian ada tempat duduk antrian. Ada beberapa kursi yang kosong, sehingga anakku yang paling kecil, bisa menempatinya. Sembari menunggu antrian pesanan, kami duduk-duduk di sana. Cukup lama. Bisa dihitung sekitar 15 menitan di sana.

Karena kesal, kemudian berdiri dan hendak mencari tempat duduk di tempat lain, yang lebih nyaman untuk menyantap pesanan. Sangat sulit sekali. Peralihan penghuni meja kursi sangat cepat dan ketat. Baru saja habis disantap, sudah ada yang antri untuk menempati.  Begitulah suasana tempat jajanan hari itu. Amat sangat ramai. Itulah kisah yang bisa dituturkan saat itu, dan menggambarkan suasana saat itu.

"beruntung sekali, pebisnis ini..." ujarku dalam hati.  Mereka bisa menemukan hasrat-biologis manusia kota, dan kemudian memanfaatkannya sebagai komoditas ekonomi yang potensial dan aktual, sehingga mendatangkan finansial bagi pengelolanya. Ruang santap sangat luas. Dengan menggunakan mata kasar, kurang lebih ada 30-40 meja bundar yang tersedia, dengan perhitungan 1 meja untuk empat orang, maka diperkirakan sekitar 120-160 orang hadir saat itu, di situ dalam satu waktu.

Untuk kali kedua ini pun, beruntung bisa menemukan satu meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan. Akhirnya kami sekeluarga duduk di tempat itu, sambil menunggu pesanan tiba.

Di sinilah drama mulai terjadi. 

Duduk termangu.  Detik demi detik berlalu, entah berapa lama harus menunggu.  Beberapa saat, kemudian datang salah satu varian dari menu aneka dimsum (sengaja di sebut demikian, supaya abstrak nama restronya..maaf). Karena kami berlima dengan anak kecil, maka untuk tahapan pertama ini, hanya pesan 3 porsi saja. Karena sudah datang, beberapa anak sudah mulai menyantapnya. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan makanan itu.

Selepas itu, menuggu lagi.  Kebayang tidak ? sudah makan varian dimsum tersebut, minuman belum tiba. Nunggu cukup lama. Beberapa menit, entahlah bisa jadi ada 10 - 15 menitan berlalu, minuman baru datang. Akhirnya di minumlah juga pesanan tersebut.

Duduk termangu lagi. Demi demi detik berlalu lagi, entahlah berapa lama kami harus menunggu. Varian dimsum pun sudah pindah tempat ke dalam tubuh masing-masing.  akhirnya pesanan rice bowl tiba.

"lha aku mau minum..." anakku yang kecil berteriak, kemudian dijawab oleh ibunya, "tunggu bentar, lagi di pesan..".  Saya merasa yakin, tidak kurang dari 10 menitan, untuk menunggu minuman tersebut. Ukuran sederhananya adalah rice bowl yang dipesan dan ada dihadapanku sudah  sirna di telah lapar. Kemudian minuman tiba.

Ayah dan Ibunya sudah kenyang. Setidaknya demikianlah, perasaan sementara. Sementara ketiga anakku, sudah lebih dari setengah jam belum menyantap menu utamanya. Masih menunggu. Dengan rasa terpaksa, kami terus menunggu pesanan tiba.

Duduk termangu lagi. Menunggu lagi. Di lihat antrian sudah mulai reda, dan para pemesan sudah duduk di tempatnya. Namun, mereka pun kelihatannya memiliki masalah yang sama, menunggu tibanya pesanan,

Karena merasa kesal, ku tanya beberapa petugas yang hilir mudik lewat ke lokasi, kapan tiba pesanan, dan kapan tiba pesanan. Jawabannya sangat sederhana, "lagi dibuatkan...", sebuah jawaban yang prosedural, namun tetap menggelisahkan.

Sang istri sudah mencoba mengkalkulasi, bahwa dalam hitungannya, biasanya harus menunggu kurang lebih satu jam. Tetapi hari ini sudah lebih dari 1,5 jam berlalu, pesanan belum tiba.

waduh...

untuk sekedar bermaksud melepas lapar dan dahaga, harus menunggu di lokasi dengan bersabar-sabar sampai satu setengah lebih. Luar biasa ! Bisa dibilang demikian, karena saat keluar dari lokasi ini, lengkingan adzan ashar sudah mulai terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Hal itu menunjukkan waktu sekitaran pukul 15.00 WIB.

Dalam pikiran ini terbayang, "adakah hal ini menggambarkan bahwa mentalitas bangsa kita, yang berani sabar dan menunggu sebuah kepastian, kendati harus mengorbankan waktu yang sangat boros...?"

entahlah, hal yang terpikir dalam benaknya, "akankah hal ini menjadi satu sikap baik dari bangsa ini. ??" sebuah pertanyaan, yang belum dijawab langsung saat itu. Hanya saja, sempat terbersit, 'jangan-jangan di sinilah, kita salah tempat dalam meletakkan kesabaran, sehingga malah melahirkan sebuah penderitaan..!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun