Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Andai jalan toll gratis....?

13 April 2024   16:40 Diperbarui: 14 April 2024   07:03 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toll serasa jalan propinsi (sumber : pribadi, bing.com) 

Mudik. Tahun ini. Satu diantara sekian pengalaman yang banyak dibincangkan, tentunya adalah pengalaman di perjalanan. Pengalaman memanfaatkan fasilitas negara, atau fasilitas umum untuk menuju ke kampung atau mudik ke tempat tinggal lagi. Kisah perjalanan mudik dan balik, adalah kisah yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena mudik di Indonesia. Termasuk, kali ini. Kami sekeluarga, menjalani dan  mengalami mudik dan balik. Walaupun perjalanan ini, dilaksanakan di hari ke-3 dan ke-empat.

Betuk. Kami mudik di hari ketiga, dan balik ke kota lagi di hari keempatnya. Kendati demikian, dan memang masih demikian, atmosfera mudik dan atmosfera balik masih sangat dirasakan. Dirasakan banget, setidaknya, inilah yang penulis rasakan saat ini.

Khusus terkait dengan pengalaman pemanfaatan jalur transportasi ini, setidaknya, ada 3 aspek penting yang ingin dibincangkan saat ini. Sekali lagi, ingin dijadikan bahan refleksi, bukan untuk kontroversi. Uraian ini, diharapkan menjadi bagian penting dari refleksi dan evaluasi terhadap kebijakan publik selama ini, sehingga bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan rakyat Indonesia. Ketiga aspek yang ingin dibincangkan itu, adalah aspek kelancaran, kondisi jalan, dan biaya perjalanan.

Beruntung. Setidaknya, demikianlah ungkapan pertamanya. Aspek kelancaran ini, dapat dirasakan keluarga, saat  mudik. Di  jalan raya Nasional Bandung - Sumedang, setidaknya sampai Jatinangor, terasa sangat lancar dan nyaman dipakai. Di sinilah, para pemudik merasakan, jalan nasional ini seperti halnya jalan toll. Ramai dan lancar. Pengalaman serupa terjadi pula, saat arus balik, yaitu di pagi hari, di hari keempat idul fitri. Kami sekeluarga, masuk jalan Cirebon-Sumedang-Bandung, dengan suasana ramai dan lancar.

Uniknya lagi, di beberapa ruas di Sumedang, jalan nasional ini tampil dengan wajah baru, dan sangat nyaman dilalui. Tidak ditemukan jalan berlubang, rusak, atau mengkhawatirkan penggendara. Bagi para pengendara dan penumpang, nyaman dan bisa terlelap tidur, dan sang supir bisa dengan indah menikmati nyamannya perjalanan. Hampir bisa dipastikan, kondisi jalan baik, dan mulus, memanjakan pada pengguna jalan saat itu.

Di sinilah, kami sekeluarga, bisa menikmati jalan nasional seperti halnya jalan toll. Ramai, lancara, nyaman, dan memanjakan pengguna jalan.

Pusing terasa, justru saat dari Sumedang hendak masuk ke jalan toll. Entah ada berapa km. Antri. Panjang. Melelahkan. Gerbang Toll belum tampak dimata para pengguna kendaraan. Tubuh jalan toll benar-benar tertutup kendaraan yang macet dari berbagai arah jalan. Situasi ini, terjadi dalam untaian kendaraan yang sangat mengular dengan ukuran yang entah berapa panjang macetnya.

Gerak satu meter dua meter. Terhenti lagi. Bergerak satu atau dua meter. Terhenti lagi. Keringat entah sudah menetes ratusan atau ribuan. Setidaknya demikianlah, ujar sang pujangga. Bila tidak kuat niat untuk segera sampai ke tempat asal, rasanya ingin sekali pindah rute dan membatalkan perjalanan itu. 

Situasi ini memang bukan di jalan tollnya. Situasi itu terasa satu atau dua km menjelang GT. Ah, disinilah, perasaan menuju jalan toll serasa menuju jalan propinsi. Macet, melelahkan dan membosankan !  

Selepas keluar dari jebakan macet, para pengendara pun masuk ke toll dan situasinya bisa dinikmati seperti hal yang sudah diceritakan sebelumnya.

Di sepanjang perjalanan, memang sangat nyaman. Tetapi, setelah keluar dari Gerbang Toll, kepikiran, mungkinkah kita bisa merasakan suasana jalan toll seperti jalan propinsi ?

Eh, maksudnya begini. Dua aspek pokok jalan toll (nyaman dan lancar), sudah sangat tepat dihadirkan. Tetapi dari sisi budget, negara kita masih belum bisa membebaskan tarif toll untuk masyarakat umum. Jalan toll, atau fasilitas jalan yang nyaman, indah, lancar, dan memanjakan seakan-akan hanya miliki "pemilik kendaraan roda empat, dan pemilik modal".  Jika, satu diantara dua aspek itu tidak dimilikinya, maka masih ada yang menggunakan jalan propinsi saja. 

"ah, mending jalan biasa saja, lagian sekarang mah, sudah enak dan nyaman, lancar lagi.." ungkap seorang tetangga, dengan ditambah argumentasinya, "daripada mahal bayar toll". Sebuah pandangan, yang kerap kali diaminkan oleh sejumlah orang yang diajak bicara dengannya.

Terpikirkan sudah. Kapan, Indonesia memiliki jalan toll terasa seperti jalan nasional ? maksudnya, nyaman, aman, dan gratis !

Dari sisi budget sangat familiar dengan dompet masyarakat pada umumnya.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun