Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ge-er, karena Dewi Sandra

4 April 2024   11:08 Diperbarui: 4 April 2024   11:08 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam seminggu ini, ramai membincangkan, gagalfokus netizen dalam membedakan Dewi Sandra dan Sandra Dewi. Keduanya, sama-sama artis. Keduanya sama-sama popular. Namun sudah tentu, keduanya adalah dua oknum yang berbeda. Misalnya saja, dalam hal penampilan busana, kedua artinya itu  berbeda jauh. Bila saja, ada yang gagal fokus terkait kasus korupsi tambang Timah, tentunya menyebabkan seseorang salah sasaran dan salah komentar di media sosial tersebut. 

Mengapa hal itu terjadi ? tentunya, hal itu bisa terjadi oleh banyak faktor. Namun hal mendasar, kejadian itu adalah wujud nyata dari kebiasaan mengkonsumsi  informasi selintas, di tambah dengan 'ingatan selintas'.   Bila kemudian dibumbui dengan ketidakjelian netizen dalam mengonsumsi berita atau pemberitaan, akan melahirkan gagalfokus dan gagalfaham terhadap berita dan pemberitaan yang sedang terjadi.

Terkait hal ini, ingin rembugan membincangkan mengenai latar sosial, yang menyebabkan terjadi gagalfoksu dan gagal faham terhadap sebuah berita.

Pertama, kebiasaan sekedar membaca judul. Ada seorang rekan, rajin membagikan link berita. Tetapi, pada saat bertemu dan meminta tanggapan dirinya terhadap berita itu, malah balik bertanya, "aduh, saya belum baca isinya.." ungkapnya. Saya kerap ketawa bila mendengar ungkapan serupa itu. Kondisi ini, adalah salah satu penyakit mental anak instan saat ini. Senang berbagi berita, tetapi tidak menelaah isi berita, yang biasa dilakukan sekedar membaca judulnya, tanpa membaca isi.  

Pagi ini. Mengalami hal serupa itu. Ada medsos yang menayangkan berita dengan penampakkan asli di pantai. Latar gambar berita itu, menampilkan sosok  Nyi Roro Kidul. Sebagai orang melayu, Jawa termasuk juga Sunda, sosok Nyi Roro Kidul itu tetap menarik perhatian. Saya pun, demikian adanya. Mau tahu kisah terbaru terkait Ratu Pantai Selatan ini. Diputarlah, si medsos itu. Eh, isinya "cuma" kenampakkan pantai. Sebagai orang yang pernah ke pantai, tidak akan asing. Sebagai orang yang belajar Geografi, tidak aneh. Menampilkan pantai indah, memang asyik. Tetapi, kali ini, malah dibuat kesal, karena tidak ada kaitan antara gambar latar dengan informasi yang diberitakannya. Jelas sudah, si pembuat berita, memainkan 'gambar' untuk sekedar menarik pembaca, walaupun beritanya tidak berkaitan. Oleh karena itu, sekali lagi, bila kita menyimpulkan berita sekedar dari judul atau gambar, tentu akan menyebabkan kekeliruan yang fatal.

Kedua, di era membuncahnya medsos, kadang judul tidak ada kaitannya dengan isi.  Etika jurnalistik, judul harus menggambarkan isi. Tetapi, etika itu, hampir dipastikan, sudah mulai diabaikan oleh para pemuat berita. Pembuat berita yang menggunakan ragam paltfom beragam itu, kadang tidak memperhatikan etika jurnalistik, tetapi lebih memokuskan pada ratting berita. Di sinilah problemanya. Dengan kata lain, sejumlah media terlebih media digital, lebih bernafsu memburu ratting, daripada informasi atau isi berita. 

Ketiga, informasi sekilas, dan ingatan sekilas. Ketidakjelian kita dalam membaca berita, menyebabkan seseorang akan menjadi pemilik informasi permukaan. Pada ujungnya, kalau sekedar mendapat informasi permukaan, dan kemudian  ditambah dengan ingatan yang terbatas, maka akibatnya akan gagalpaham. 

Keempat, bila menggunakan pendekatan psikologi media, memang judul berita harus menarik.  Salah satu pendekatan kemenarikan berita itu, yaitu menggunakan pendekatan subjektif yang cenderung emosional.  Celakanya, bila bahasa emosi, disambung dengan emosi, akan menjadi emosi yang memuncak. Kondisi ini, sangat mudah membakar 'sumbu pendek dari nalar' sebagian netizen kita.

Terakhir, kesalahan fatal netizen, termasuk saya sendiri, kadang lebih banyak membaca 'akhir dari sebuah perbincangan', daripada menelaah sejarah-obrolan dalam sebuah media sosial. Misalnya begini, dalam sebuah group ada berita duka, maka kemudian muncullah ucapan belasungkawa. Tetapi, di tengah perbincangan itu, ada yang memosting berita bahagia. Kemudian muncul pula,  ucapan selamat dan syukur. Bila pembaca terakhir, tidak peka dengan perjalanan dialog dalam medsos itu, maka jangan-jangan, saat dibuka ada pesan dari si A, tentang duka, dan diakhir dengan ucapan syukur orang terakhir,  kemudian direspon dengan komentar medsos, "untuk A, selamat ya, semoga bahagia selalu..".

Waduh. Celaka, orang meninggal dunia dibilang  semoga bahagia selalu !

Akibat dari ketidaktelitian pembaca medsos dalam mengikuti rangkaian dialog dalam media sosial, potensial menyebabkan kegagalan dalam komunikasi. Oleh karena itu, hati-hati dengan media sosial, yang mudah menjebak informasi keliru, atau ketidaktepatan kita dalam membaca informasi tersebut !

ya, itulah, jangan-jangan, seseorang bisa dibuatnya ge-er, saat ada seorang artis cantik mengucapkan "hai, aku cinta kalian semua..",  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun