Ramai sudah. Di media massa kita hari ini. Korupsi dengan besaran yang hampir sudah dipastikan, sangat fantastis. 271 T. Gimana cara menulisnya ? Â Tidak kebayang. Andaipun huruf T-nya, diturunkan sedikit jadi - M, pun, masih banyak orang yang tidak bisa membayangkannya. Atau, bila huruf M, itu diturunkan jadi -J (271 juta), bagi sebagian orang masih juga mengalami kesulitan untuk membayangkannya. Mungkin, kalau satuannya, ditulis jadi R, banyak sudah yang bisa membayangkannya.
jika, 271 T, diturunkan Â
jika, 271 M, diturunkanÂ
jika, 271 Â J, Â diturunkanÂ
jika, 271 Â R (dua ratus tujupuluh satu ribu)
Di level keempat itulah, sebagian besar rakyat kita masih bisa membayangkannya. Ya, setidaknya, saat rakyat kita menerima BLT (bantuan langsung tunai) yang dibagikan Pemerintah di setiap bulannya, angka itu masih bisa dibayangkanya. Â Hanya saja, angka itu, hanya mengendap dalam beberapa menit atau jam saja. Setelah itu, angkanya langsung melorot entah ke mana. Itulah kebanyakan dari kita, dan saudara-saudara kita saat ini. Â Hanya sebesaran angka itulah, yang mudah dibayangkan oleh kebanyakan warga kita.
Ada yang mencoba mengutak atik, andai saja, angka sebesar 271 T itu dibagian kepada seluruh rakyat Indonesia, yang berjumlah sekitar 278 juta orang, maka bisa jadi, setiap warga negara akan mendapatkan bagian sekitaran satu juta rupiah. Wah, jumlah sebesar itu  lumayan besar, bahkan bisa menggaji guru honorer 2 atau 3 bulan lamanya.
Ah, biarkanlah hal itu, menjadi permainan hayalan masyarakat kita saat ini. Karena pada kenyataannya, angka se-GEDE itu, hanya dikorupsi oleh beberapa orang saja.Â
Terkait hal ini, ada beberapa pertanyaan kritis, yang biasa muncul di tengah benak masyarakat kita.
Pertama, akankah hal itu dilakukan oleh sendirian ? jawabannya, tidak. Buktinya ada beberapa orang, yang sudah ditetapkan oleh KPK. Ok ! Lagi-lagi kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa pelakunya tidak sendirian, dan bukan orang 'hutan', tetapi benar-benar orang kota. Tetapi, kenapa ya, kok licin dan sulit sekali terdeteksi oleh badan intelelijen-keuangan di negara kita ini !
Kedua, bukankah, di negeri ini ada badan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), yang merupakan lembaga sentral yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Tetapi, mengapa aliran uang yang sangat luar biasa besar pada seseorang atau beberapa orang di dalam negeri ini, kok tidak bisa terdeteksi ya ?Â
Memang. Hanya ASN atau pejabat  negara yang  melaporkan kekayaannya kepada negara. Tetapi, aliran dan transaksi keuangan ini, ternyata dahsyat juga dikalangan para pengusaha. Oleh karena itu, mungkin bukan kecolongan, tetapi sensitivitas analisis transaksi keuangan pada level swasta, negara kita masih sangat lemah. Â
Ketiga, akankah kejadian itu, hanya dilakukan oleh para pelaku usaha di lapangan ? bagaimana dia mengangkut barang tambang yang akan dijual atau melakukan penggaliannya di lapangan, apakah hal itu hanya dilakukan oleh para pengusaha ? jawabannya, bisa jadi, perlu dilakukan pendalaman.
Keempat, akankah hal ini, terjadi hanya di tahun-tahun sekarang ? jawabannya, tidak. Kejadian ini, terjadi dalam rentang waktu cukup panjang, dan berjalan beberapa tahun ke belakang. Sekitar tahun 2018 s/d 2019, Tersangka HLN selaku Manager PT QSE diduga kuat telah membantu mengelola hasil tindak pidana kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tb. Bila demikian adanya, mengapa  kejadian  yang berlalu bertahun-tahun itu, tidak diketahui indikasinya oleh pejabat yang berwenang ? bila ada yang menjawab, "sudah terindikasi". Lantas mengapa dibiarkan berlama-lama, sehingga uang dikorupsi sebanyak itu !
Keempat, dilihat dari sisi pengawasan dan pelaporan. Â Apakah laporan perusahaan dan atau keuangan yang dilakukan para pengusaha itu sesuai dengan komoditas tambang yang dieksplorasi ? Persoalannya sangat sederhana. Ada tambang, dieksplorasi oleh pengusaha. Tambangnya di jual, pendapatannya masuk. Apakah pendapatan dari setiap tambang yang dijual, dihitung secara tepat oleh Negara, atau Kementerian ESDM ?
Maksudnya, jangan-jangan selama ini, kita memberikan izin penambangan dan eksplorasi barang tambang, tetapi  jumlah pemasukan tidak pernah dikalkulasi dengan pemasukannya. Sehingga pada akhirnya, tambang yang dieksplorasi jauh lebih banyak dibandingkan pemasukan, karena sebagian keuntungannya, dikorupsi oleh para pelaku.
Di sinilah, kita melihat adanya potensi kelemahan pengawasan dari Negara terhadap para pengusaha. Setiap pengusaha diberikan hak untuk mengeksplorasi tambang, tetapi tidak dikalkulasi dengan baik pengeluarannya. Pengalaman sebagai pengawas koperasi, kerap mengajukan pertanyaan, "pemasukan harus sama dengan barang yang keluar". Tidak mungkin pemasukan kecil, kalau omset banyak yang keluar atau terjual.
Sehubungan hal itu, dan selaras dengan pengalaman kecil itu,  rasanya tepat bila dikatakan bahwa negara tidak pernah melek mengenai barang tambang yang dieksplorasi  dengan keuntungan yang diperolehnya. Kenyataan yang ada, tambang dan daerah tambang rusak, tetapi pendapatan negara  kecil. Atau, tambang dan daerah tambang rusak, tetapi masyarakat sekitar masih tetap miskin. Mengapa ? fakta ini menunjukkan bahwa  ada yang salah dalam pengawasan terhadap pengusaha tambang di negeri ini.
Buktinya ? dikorupsinya hasil tambang senilai 271 T, pun, negara tidak bisa merasakan dan tidak melihatnya dengan cepat !Â
atau,Â
memang jangan-jangan, nalar kita sudah seperti timah, mudah meleleh kalau terkena aura keuntungan dari setiap uang panas yang datang menghampiri !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H