Pernahkah kita merasakan bahwa kita adalah salah satu diantara orang yang tengah menderita penyakit autis? Bila hal demikian belum kita rasakan, mungkin sudah saatnya untuk menafakuri diri, untuk kemudian memotret diri, status keberadaan kita di masyarakat sekitar. Bila simpulan dari hasil renungan itu, muncul kecenderungan adanya gejala kebetahan ( enjoy ) dengan permainan dan gaya hidup sendiri, dan tidak peka atau tanggung jawab sosial, maka sesungguhnya kita tengah mengalami penyakit autis.
Bila suatu saat, melihat ada seorang anak hidup menyendiri. Kendatipun, di kanan kirinya, ada kakak atau adiknya, bahkan ada ibu dan bapaknya, juga kakek dan neneknya, namun bila dia merasa betah atau senang dengan dunia sendiri, maka para psikolog menyebutnya sebagai anak yang mengalami autis. Di luar pro kontra, mengenai definisi sesungguhnya, apakah autisme merupakan sebuah kecacatan mental yang tidak dapat disembuhkan, atau penyakit mental yang bisa direhabilitasi, namun dalam konteks ini, seorang anak yang senang dengan dunianya, dan tidak peduli pada kebutuhan fisiologis, gerak, biologi dan komunikasi sosial, maka anak tersebut dapat disebut sebagai anak autis.
Persoalan yang lebih luas, ternyata kita pun menemukan ada sebuah gejala anomalia mental sosial masyarakat. Setiap kelompok masyarakat kita, sering kali menunjukkan adanya ke-autis-annya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Seorang muslim yang sedang sholat jum'at, adalah miniatur budaya beragama yang dihinggapi penyakit autis. Sang khatib berkhutbah (berpidato), sementara jama'ah ada dalam kondisi tertidur pulas. Namun, hal yang menarik adalah si khatib itu sendiri, merasa tidak ada masalah terhadap kenyataan, bahkan dia merasa tenang, senang dan betah dengan kondisi tersebut. Pada kondisi ini, khatib berbicara sendiri, dan jamaah pun sedang menikmati aktivitasnya sendiri (tidur pulas). Inilah autisme masal dalam bidang keagamaan.
Pada skala kecil, sang anak asyik dengan smartphonenya, begitu pula dengan anggota keluarganya. Fenomena ini, mau disebut gejala apa ?
Ketika dalam sebuah kode etik profesi di nyatakan, bahwa setiap melaksanakan tugas seorang pegawai departemennya harus jujur, adil dan amanah. Sang pejabat itupun, dengan gagah berani, cerdas, tegas dan jelas menjelaskan dan menguraikan makna dari konsep-konsep kode etik tersebut. Namun pada sisi yang lainnya, sang aparatur atau stafnya sedang bergerilya melakukan kongkalikong menggolkan proyek melalui pendekatan KKN. Pada satu sisi, seorang pejabat menikmati dan menikmati pekerjaan dalam menguraituturkan makna normatif kode etik pegawai. Namun, di sisi lain, stafnya sedang bergerilya menjalankan tugas rutin untuk melakukan tindak KKN (katatan : istilah yang digunakan sudah pasti bukan KKN, misalnya dengan sebutan "ucapan terima kasih"). Fenomena inipun, adalah fenomena autisme masal di lingkungan aparatur.
Dengan digulirkannya UU Otonomi Daerah, penyakit autisme masal ini, banyak bermunculan ke permukaan. Untuk sekedar menjelaskan kasus, ketika Pemerintah Provinsi membuat sebuah Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD), dan dinyatakan bahwa RKPD itu adalah pedoman bagi kabupaten/kota dalam menyusun berbagai program kegiatan pembangunan, akankah ada gayung bersambut dari setiap pemerintah kabupaten/kota ?
Dalam menjawabnya ini, ada satu argumen yang bisa dijadikan pisau analasis mengenai autisme aparatur ini, yaitu bila setiap kabupaten/kota membuat RKPD masing-masing, bahkan dalam perumusannya tidak memperhatikan RKPD provinsi, terlebih lagi program pembangunan nasional, maka sesungguhnya aparatur pemerintah kita sudah menjadi autis. Otonomi daerah, telah menyebabkan setiap pemerintahan merasa "otonom" atau "berdaulat" dengan lingkungan pemerintahannya masing-masing. Sehingga, program kabupaten/kota sering kali tidak sinkron dengan program provinsi, atau program provinsi tidak ada akar lanjutannya ke daerah. Pada intinya, setiap Badan Perencanaan Daerah, membuat rencana pembangunan daerahnya masing-masing, tanpa peduli rencana pembangunan pemerintah yang lainnya. Pada saat itulah, sebenarnya aparat perencanaan daerah pun sedang menderita autis. Mereka senang dan merasa betah dengan aktivitasnya sendiri, tanpa hirau dengan program pembangunan nasional, RKPD provinsi atau RKPD kabupaten/kota di sekitarnya. Padahal sejatinya, pembangunan suatu daerah memerlukan adanya kesinergisan, dan kesinkronan dengan program Pusat, Provinsi dan atau program pembangunan regional di wilayah sekitarnya.
Hal yang menarik pula, autisme masal ini terjadi juga di lingkungan akademik. Seorang aktor, merasa sudah menyelesaikan tugasnya, dengan cara menuturkannya di ruang kelas. Tidak kurang, guru besar, doktor atau master yang terpenjara oleh ruang berukuran 8 x 8 meter. Dalam ruang itulah, para sejarawan berwacana mengenai kondisi negeri. Sementara, saat atau bersamaan dengan itu, di luar kampus (atau malahan dalam lingkungan kampusnya sendiri), sedang terjadi sebuah kebijakan lembaga sebagaimana yang sedang dikritiknya habis-habisan oleh para ilmuwan tersebut. Kritik terus berjalan, namun lembaga kebijakan pun terus berjalan, dan mereka ternyata merasa yakin dengan dua kenyataan tersebut. Itulah autisme masal di lingkungan akademik.
Merujuk pada berbagai kasus tersebut, sepertinya tidak terlalu sulit bila kita menyimpulkan bahwa inilah gejala autisme masal. Setiap orang asyik dengan permainan hidup yang berlaku di lingkungannya sendiri, tanpa sikap peduli dan kepedilian terhadap realitas sosial di sekitarnya. Jika dipotret dari permukaan bumi, setiap masyarakat/kelompok/komunitas bangsa Indonesia, asyik dengan budaya hidupnya masing-masing. Bahkan, setiap kelompok menyenandungkan lagu politik yang sama, " Saya tidak peduli ". Terserah, apapun kritikanmu, atau apapun omelanmu, kami akan tetap melakukan protupoksi (program tugas pokok dan fungsi) atau kebiasaan kami.
Meminjam istilah Guy Debord (dalam Briggs dan Burke, 2006:46), jangan-jangan itulah yang disebut sebagai masyarakat pertunjukkan (society of the spectacle ), yaitu tengah mempertontonkan sandiwara monolog dengan memuji keberhasilan, atau aktivitasnya masing-masing tanpa terputus. Dengan kemampuan retorika dan mobilisasi massa (juga media massa), pemerintah atau aparatur tengah mempertontonkan manuver politiknya sebagai sebuah bagian dari upaya menunjukkan peran dan fungsinya sendiri. Namun, yang kita khawatirkan, dengan semua yang mereka lakukan tengah melakukannya, adakah masyarakat merasakan manfaat dari yang meleka lakukan ? Atau jika mereka peduli dengan apa yang sedang dilakukan elit politik, jangan-jangan masyarakat pun tetap konsisten menyanyikan lagu " I don't care ."
Bila demikian adanya, lengkap sudah teater masyarakat autisme Indonesia. Dan bisa jadi, tulisan ini pun adalah salah satu alat permainan penulisnya, yang sedang menikmati kesendiriannya. Sementara orang lain, tetap menyanyikan lagu " I don't care ."
Dalam konteks itulah, Ramadhan hadir dengan maksud dan tujuan untuk melakukan rehabilitasi mental, dengan agenda melakukan perbaikan mental personal dan sosial. Mentalitas personal yang dibangun dengan ibadah harian, sementara mental sosial dengan gerakan sedekah dan zakat fitrah.Â
Semoga !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H