Apakah perjalanan spiritual manusia muslim Ramadhan berhenti sampai di sini ? tidak. Ternyata tidak demikian. Setidaknya, inilah, yang tersadari penulis saat ini. Perjalanan nilai Ramadhan tidak berhenti sampai pada penanaman gaya hidup. Karena gaya hidup itu, cenderung dipengaruhi oleh pemikiran subjektif atau kepentingan pribadi.
Ada pepatah tersiarkan, "kebutuhan hidup manusia murah dan sederhana, tetapi memenuhi kebutuhan haya hidup itulah yang mahal dan jelimet". Dalam gaya hidup ada peran kehausan diri dalam mengejar obsesi, hasrat atau keinginan. Maka yang ditanamkan dalam Ramadhan itu, adalah mengubah gaya hidup menjadi sebuah orientasi hidup yang lebih mulia.
Apa tanda adanya perubahan orientasi hidup ? Ramadhan bukan soal diet. Obsesi menjadikan puasa sebagai instrument diet, dengan harapan memiliki tubuh ramping adalah pola hidup yang diimbuhi hasrat gaya hidup. Padahal, puasa itu bukan urusan jasmani, namun urusan penghambaan diri kepada Tuhan. Inilah yang disebut orientasi hidup.
Di bulan Ramadhan, berpuasa bukan untuk hemat-hematan tidak makan siang, dan tidak boros belanja. Bukan itu, Ramadhan mengajarkan kita pada pemanfaatan kekayaan untuk hal-hal yang maslahat, baik dalam memenuhi kebutuhan pribadi, maupun kemaslahatan sosial, seperti infaq, shadaqah dan zakat.Â
Di sini, harta pun tidak dijadikan instrument  panjat sosial pencitraan, melainkan panjat-spiritual (panspirt) pada nilai Ketuhanan.
Sampai pada titik inilah, dapat disederhanakan, bahwa Ramadhan mengajari kita mengubah perilaku kita dari pola, gaya menjadi orientasi  hidup mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H