Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ramadhan, Involusi Pemikiran

12 Maret 2024   04:22 Diperbarui: 12 Maret 2024   04:51 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi rutin. Setiap tahun terjadi seperti ini. Sudah diramaikan dari awalnya, dan kemudian, memang terjadi begitu adanya.

Sekali lagi, sudah menjadi rutin tahunan bagi umat Islam Indonesia. Ada pernyataan dari sana dan sini, khususnya mengenai awal Ramadhan, dan akhir Ramadhannya. Biasa saja, ceritanya tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu "perbedaan memulai Ramadhan, karena ada perbedaan cara atau kriteria pengambilan keputusan".

Bagi sebagian orang, kejadian itu, sudah menjadi sesuatu hal yang biasa. Biasa terjadi, dan tidak aneh. Aktor utama penyusun pemberitaannya pun, tidak asing lagi dalam telinga dan lisan Masyarakat. Perbedaan awal Ramadhan itu terjadi antara An-Nadzir di Sulawesi Gowa, Aboge di Jawa,  Muhammadiyah, Persis dan NU serta Pemerintah. Organisasi keagamaan tersebut, memiliki cara tersendiri dalam menenrtukan waktu untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.

Di lihat dari sisi dinamika sosial (dinamika intelektual), bagaimana orang sosiologi (pengetahuan) melihat hal seperti itu ?

Pertama, fenomena itu sudah menunjukkan adanya toleransi intelektual yang tingi di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagian besar Umat Islam Indonesia, tidak terpengaruhi lagi oleh adanya perbedaan pemikiran keagamaan, khususnya dalam konteks penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Sikap toleransi itu,  bukan hanya dalam mensikapi perbedaan diinternal umat Islam Indonesia, namun juga melihat adanya perbedaan pemikiran dan Keputusan sikap beragama dengan negara lain di Timur Tengah. 

Hal itu tampak,  kendati dalam waktu yang  bersamaan, Pemerintah menetapkan awal Ramadhan di hari esoknya, mulai tadi malam di sejumlah negeri di Timur Tengah sudah melaksanakan tarawih.

Stiulasi informasi mengenai adanya perbedaan Keputusan awal dan akhir Ramadhan di berbagai negeri, tidak membuat 'terprovokasinya' sikap intelekual dan sosial umat Islam Indonesia dalam mengambil Keputusan. Itulah yang disebut dengan toleransi Keputusan pemikiran yang terbaik.

Kedua, sekeping dengan toleransi yang baik itu, ada sisi gelap lainnya, yang perlu dikhawatirkan.  Gejala yang dimaksudkan itu adalah fenomena involusi pemikiran.

Fenomena involusi pemikiran bukan hadir dari sikap toleransi. Involusi pemikiran terjadi, akibat dari sikap tidak dinamisnya pemikiran, sehingga tidak beranjak dari masalah yang terjadi, dan malah terus mengulang kasus dan pembicaraan yang terjadi. Istilah Masyarakat awam, involusi pemikiran itu, sama dengan 'berjalan di tempat".

Kok bisa ya, ?

Sudah tentu. Bagi sebagian orang akan menjadi sebuah kebahagiaan, bila dinamika perbedaan sikap keagamaan dari tahun ke tahun, direspon 'slow' oleh Masyarakat. Itu tanda ada toleransi dan kesadaran yang baik, di tengah Masyarakat. Tetapi, dinamika intelektual itu, memunculkan gejala sosial yang berputar dalam masalah yang sama, tema sama, akar masalah sama, cara penjelasannya pun tetap sama. Itulah involusi intelektual.

Sederhananya begini. Kita semua sudah paham. Bahwa ada perbedaan cara penentuan awal dan akhir Ramadhan, atau lebih umumnya, ada perbedaan cara menentukan kalender harian terkait kegiatan keagamaan Umat Islam.  Kita semua sudah paham itu. Lantas, mengapa harus diulas lagi oleh para pakar, dengan pembahasan yang sama, dari tahun ke tahun, dengan tema yang sama ?

Mengapa, kaum intelektual masih membahas mengenai alasan utama perbedaan penentuan yang terjadi di tengah Masyarakat ? dan tidak beranjak dari itu semua ? maksudnya, andai, ada peluang untuk didialogkan, dialektika pemikiran, maka tentunya harus ada ide baru yang bisa menyelesaikan perbedaan itu. Tetapi, andai tidak bisa didialogkan, maka sudah tidak perlu dibicarakan lagi. Biarkan, sepakat untuk berbeda.

Untuk sepakat dalam perbedaan ini, perlu pula dilakukan cara yang efektif. Meminjam selebaran di media sosial, ada sebuah prediksi matematis-astronomis mengenai perhitungan hari, menurut edaran bulan, sampai tahun 2027. Gagasan ini menarik. Satu sisi, perhitungan merujuk pada kajian ilmiah, dan sisi lainnya, meningkatkan efisiensi dalam penentuan kalender Islam.

Kalangan akademisi dan Pemerintah, tampaknya mampu melakukan prediksi serupa ini. Karena produk pemikiran itu adalah hasil ijtihadi dalam memahami memahami keajegan pola gerak bulan-bumi dalam orbitnya. Sehingga, dengan adanya kalender seperti ini, tidak perlu lagi ada siding itsbat, atau pembicaraan mengenai perbedaan cara penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Cara yang kedua, untuk menghindari involusi pemikiran itu, adalah melakukan perubahan sikap terkait dengan kriteria penyebab perbedaan. Karena ternyata, khusus antara Pemerintah dan ormas keagamaan Islam (Muhammadiyah) perbedaannya itu, tidak melulu soal ru'yah dan hisab, melainkan lebih ke kriteria imkanur ru'yah itu sendiri. Standar keterlihatannya (imkanur ru'yah), yang berbeda. Artinya, kaum intelektual pihak Pemerintah melakukan dialog mengenai kriteria imkanur ru'yahnya, kelihatanya akan ada sebah jalan baru dalam menentukan kalender keagamaan (Islam).

Hal yang perlu dicermati lanjut, indikasi adanya involusi pemikiran ini, tidak hanya terjadi di level elit.  Pada level Masyarakat pun, terjadi. Setidaknya,  secara berulang-ulang Masyarakat masih berkuat dalam soalan boleh-tidaknya gosok gigi di bulan Ramadhan, berkumur saat wudhu, mencicipi makanan saat masak dan lain sebagainya.

Betul. Mungkin orang yang bertanya, adalah generasi yang beda dari tahun kemarin. Tetapi, kejadian itu pun, menunjukkan sosialisasi dan internalisasi pengetahuan keagamaan dari orang dewasa kepada anak-anak muda hari ini, tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, anak muda milenial hari ini, kembali menanyakan masalah keagamaan yang di zaman nenek moyang ditanyakan. Hal ini pun, secara umum dapat disebutnya involusi pemikiran pada level sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun