Sudah tentu. Bagi sebagian orang akan menjadi sebuah kebahagiaan, bila dinamika perbedaan sikap keagamaan dari tahun ke tahun, direspon 'slow' oleh Masyarakat. Itu tanda ada toleransi dan kesadaran yang baik, di tengah Masyarakat. Tetapi, dinamika intelektual itu, memunculkan gejala sosial yang berputar dalam masalah yang sama, tema sama, akar masalah sama, cara penjelasannya pun tetap sama. Itulah involusi intelektual.
Sederhananya begini. Kita semua sudah paham. Bahwa ada perbedaan cara penentuan awal dan akhir Ramadhan, atau lebih umumnya, ada perbedaan cara menentukan kalender harian terkait kegiatan keagamaan Umat Islam. Â Kita semua sudah paham itu. Lantas, mengapa harus diulas lagi oleh para pakar, dengan pembahasan yang sama, dari tahun ke tahun, dengan tema yang sama ?
Mengapa, kaum intelektual masih membahas mengenai alasan utama perbedaan penentuan yang terjadi di tengah Masyarakat ? dan tidak beranjak dari itu semua ? maksudnya, andai, ada peluang untuk didialogkan, dialektika pemikiran, maka tentunya harus ada ide baru yang bisa menyelesaikan perbedaan itu. Tetapi, andai tidak bisa didialogkan, maka sudah tidak perlu dibicarakan lagi. Biarkan, sepakat untuk berbeda.
Untuk sepakat dalam perbedaan ini, perlu pula dilakukan cara yang efektif. Meminjam selebaran di media sosial, ada sebuah prediksi matematis-astronomis mengenai perhitungan hari, menurut edaran bulan, sampai tahun 2027. Gagasan ini menarik. Satu sisi, perhitungan merujuk pada kajian ilmiah, dan sisi lainnya, meningkatkan efisiensi dalam penentuan kalender Islam.
Kalangan akademisi dan Pemerintah, tampaknya mampu melakukan prediksi serupa ini. Karena produk pemikiran itu adalah hasil ijtihadi dalam memahami memahami keajegan pola gerak bulan-bumi dalam orbitnya. Sehingga, dengan adanya kalender seperti ini, tidak perlu lagi ada siding itsbat, atau pembicaraan mengenai perbedaan cara penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Cara yang kedua, untuk menghindari involusi pemikiran itu, adalah melakukan perubahan sikap terkait dengan kriteria penyebab perbedaan. Karena ternyata, khusus antara Pemerintah dan ormas keagamaan Islam (Muhammadiyah) perbedaannya itu, tidak melulu soal ru'yah dan hisab, melainkan lebih ke kriteria imkanur ru'yah itu sendiri. Standar keterlihatannya (imkanur ru'yah), yang berbeda. Artinya, kaum intelektual pihak Pemerintah melakukan dialog mengenai kriteria imkanur ru'yahnya, kelihatanya akan ada sebah jalan baru dalam menentukan kalender keagamaan (Islam).
Hal yang perlu dicermati lanjut, indikasi adanya involusi pemikiran ini, tidak hanya terjadi di level elit. Â Pada level Masyarakat pun, terjadi. Setidaknya, Â secara berulang-ulang Masyarakat masih berkuat dalam soalan boleh-tidaknya gosok gigi di bulan Ramadhan, berkumur saat wudhu, mencicipi makanan saat masak dan lain sebagainya.
Betul. Mungkin orang yang bertanya, adalah generasi yang beda dari tahun kemarin. Tetapi, kejadian itu pun, menunjukkan sosialisasi dan internalisasi pengetahuan keagamaan dari orang dewasa kepada anak-anak muda hari ini, tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, anak muda milenial hari ini, kembali menanyakan masalah keagamaan yang di zaman nenek moyang ditanyakan. Hal ini pun, secara umum dapat disebutnya involusi pemikiran pada level sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H