Sudah menjadi rutin. Setiap tahun terjadi seperti ini. Sudah diramaikan dari awalnya, dan kemudian, memang terjadi begitu adanya.
Sekali lagi, sudah menjadi rutin tahunan bagi umat Islam Indonesia. Ada pernyataan dari sana dan sini, khususnya mengenai awal Ramadhan, dan akhir Ramadhannya. Biasa saja, ceritanya tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu "perbedaan memulai Ramadhan, karena ada perbedaan cara atau kriteria pengambilan keputusan".
Bagi sebagian orang, kejadian itu, sudah menjadi sesuatu hal yang biasa. Biasa terjadi, dan tidak aneh. Aktor utama penyusun pemberitaannya pun, tidak asing lagi dalam telinga dan lisan Masyarakat. Perbedaan awal Ramadhan itu terjadi antara An-Nadzir di Sulawesi Gowa, Aboge di Jawa, Â Muhammadiyah, Persis dan NU serta Pemerintah. Organisasi keagamaan tersebut, memiliki cara tersendiri dalam menenrtukan waktu untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.
Di lihat dari sisi dinamika sosial (dinamika intelektual), bagaimana orang sosiologi (pengetahuan) melihat hal seperti itu ?
Pertama, fenomena itu sudah menunjukkan adanya toleransi intelektual yang tingi di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagian besar Umat Islam Indonesia, tidak terpengaruhi lagi oleh adanya perbedaan pemikiran keagamaan, khususnya dalam konteks penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Sikap toleransi itu, Â bukan hanya dalam mensikapi perbedaan diinternal umat Islam Indonesia, namun juga melihat adanya perbedaan pemikiran dan Keputusan sikap beragama dengan negara lain di Timur Tengah.Â
Hal itu tampak,  kendati dalam waktu yang  bersamaan, Pemerintah menetapkan awal Ramadhan di hari esoknya, mulai tadi malam di sejumlah negeri di Timur Tengah sudah melaksanakan tarawih.
Stiulasi informasi mengenai adanya perbedaan Keputusan awal dan akhir Ramadhan di berbagai negeri, tidak membuat 'terprovokasinya' sikap intelekual dan sosial umat Islam Indonesia dalam mengambil Keputusan. Itulah yang disebut dengan toleransi Keputusan pemikiran yang terbaik.
Kedua, sekeping dengan toleransi yang baik itu, ada sisi gelap lainnya, yang perlu dikhawatirkan. Â Gejala yang dimaksudkan itu adalah fenomena involusi pemikiran.
Fenomena involusi pemikiran bukan hadir dari sikap toleransi. Involusi pemikiran terjadi, akibat dari sikap tidak dinamisnya pemikiran, sehingga tidak beranjak dari masalah yang terjadi, dan malah terus mengulang kasus dan pembicaraan yang terjadi. Istilah Masyarakat awam, involusi pemikiran itu, sama dengan 'berjalan di tempat".
Kok bisa ya, ?