Hari ini. Dapat disebut, hari-hari terakhir menjemput ramadhan. Ramadhan, dalam konteks keyakinan umat Islam, adalah bulan suci, bulan untuk menebar kebaikan, dan juga melakukan pembersihan jiwa. Di bulan inilah, seorang muslim diajari bagaimana hidup sabar, dan pengedepanan nilai-nilai spiritual, dibanding dengan nilai-nilai profan (duniawi) sebagaimana sudah dilakukan 11 bulan sebelumnya.
Selamat menghadapi dan mengisi bulan suci Ramadhan, kepada umat Islam yang menjalaninya.Â
Lha, memangnya ada, umat Islam yang tidak menjalankan shaum di bulan suci Ramadhan ? sudah tentunya. Â Mereka yang tidak melaksanakan ibadah shaum (puasa) Ramadhan, bukan berarti mereka tidak soleh, atau tidak taat terhadap ajaran Agama. Karena, ajaran Islamnya sendiri, membolehkan sejumlah orang untuk tidak melaksanakan ibadah shaum Ramadhan, seperti yang sedang hamil, menyusui, atau sakit, atau sedang melakukan perjalanan jauh. Â Orang-orang tersebut, sudah tentu, bukan berarti tidak taat, justru karena ketaatannya, maka mereka tidak melaksanakan shaum Ramadhan.Â
Iya, juga sih. Memang ada sekelompok orang lain, ada yang tidak melaksanakan shaum ramadhan, karena 'merasa tidak kuat'. Entahlah, tidak kuat secara biologis, psikologis, emosional, atau tidak kuat keyakinannya, sehingga dirinya mengambil posisi untuk tidak melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan.
Namun ada satu sisi yang kerap kali luput, dari perhatian orang. Luput dari perhatian banyak pihak, termasuk juga, kita sebagai pengamat atau penulis kolom di platform ini. Â
Keluputan itu, yakni adanya gejala komodifikasi ramadhan oleh masyarakat kita. Â Apa maksudnya ?
Untuk sekedar memulai, dan meminjam istilah umum, arti komodifikasi yaitu proses perubahan nilai, barang, jasa atau orang, dari nilai yang sebelumnya, menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi. Oleh karena itu, komodifikasi itu, bisa diartikan sebagai penukaran barang, atau jasa, atau juga menukar orang, dengan benda ekonomi atau sehingga menjadi bagian dari nilai ekonomi. Â Bahasa sederhana kita, komodifikasi itu, sama dengan membisniskan.Â
Lah, memangnya, ada orang yang mengubah masalah shaum ramadhan menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi ? memangnya ada orang yang membisniskan ramadhan, atau membisniskan kegiatan-kegiatan di bulan suci ramadhan ? bukankah Ramadhan adalah bulan suci, apa ada orang yang melakukan komodifikasi ramadhan ?
Umrah adalah ibadah. Ramadhan adalah ibadah. Tetapi, jika seseorang kemudian memanfaatkan momentum ramadhan untuk menyelenggarakan ibadah umrah di bulan Ramadhan, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka hal itu, khawatir akan terjerembab pada 'ruang komodifikasi ramadhan'.Â
Tidak sulit untuk menemukan, sejumlah penjual jasa perjalanan ibadah haji dan umrah, yang kemudian melakukan promosi besar-besaran untuk menarik pelanggannnya, dengan menjual gagasan 'umrah ramadhan' lebih utama, atau dengan iklan-iklan yang lainnya.Â
Sekali lagi, ibadah umrah adalah ibadah. Â Ramadhan adalah bulan berkah. Rasulullah Muhammad Saw, mengingatkan bahwa setiap amal perbuatan akan dinilai oleh motif atau niatnya. Oleh karena itu, menyelenggarakan layanan ibadah dengan motif untuk mendapatkan keuntungan, merupakan bentuk lain dari komodifikasi kegiatan keagamaan. Bahkan, ada juga yang menyebut dengan istilah lebih 'lugas', yaitu kapitalisasi agama. Kapitalisasi agama ini, terjadi juga di media televisi, media sosial atau kegiatan-kegiatan agama lainnya.
Dalam skala nasional (skala makro), entah dari mana asal usulnya, harga sembako dibiakan terus merangkak naik. Menurut teori ekonomi, kejadian itu adalah wajar, karena permintaan meningkat. Tetapi soalannya adalah, apakah Pemerintah tidak kuasa  mengendalikan pasar serupa itu ?  bukankah kejadian itu sudah berulang, dan kemudian yang mengalami kesulitan adalah rakyat kecil dengan ekonomi pas-pasan ? apakah pemerintah tidak bisa berbuat lebih, ketika kalangan ekonomi wajar sebagai bentuk hukum ekonomi pasar, sementara rakyat  mengalami kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya sendiri ?
Pada konteks ini, dapat diduga, bahwa kalangan pemilik modal dan kalangan ekonom, melakukan komodifikasi momentum Ramadhan untuk menjaga keuntungan ekonominya, atau untuk tetap meningkatkan keuntungannya. Hal ini perlu ditegaskan, karena sejatinya, bila Pemerintah dapat  membaca siklus tahunan ini, dan kemudian bermaksud untuk membantu kebutuhan masyarakat pada umumnya, kelihatannya, harusnya, kejadian kekurangan pangan dan tingginya kebutuhan bahan pokok ini, tidak boleh terjadi.Â
Tetapi itulah kenyataan kita. Hukum pasar lebih kuasa, dari  kekuatan pemerintah dalam membantu kesejahteraan rakyat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H