Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fluid Thinking, Gagal-ginjal dan Gagal-nalar !

7 Maret 2024   04:23 Diperbarui: 7 Maret 2024   04:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
asupan nutrisi penalaran (sumber : pribadi, bing.com) 

Saat kita berhadapan dengan media sosial, tentunya kita akan dihadapkan dengan ragam informasi. Berbeda dengan bersekolah, atau mondok di sebuah lembaga pendidikan keagamaan. Informasi pada lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan, sebelum masuk ke benak kita, informasi itu sudah disaring terlebih dahulu oleh para pengajarnya. 

Bahkan, saking ketatnya saringan itu, kadang sensor-kaku dari pengelola pendidikan atau tenaga pendidikan itu, menyebabkan peserta didiknya tidak mendapatkan wawasan yang  beragam. Wawasan yang didapatnya, sebatas yang disampaikan oleh tenaga pendidiknya saja.

Hal ini sangat berbeda dengan media sosial, atau abad kita hari ini. Di setiap harinya, kita dihadapkan pada sajian informasi yang ekstrim. Bahkan, bisa jadi mirip gudang atau tempat sampah.  Informasi yang segar ada, informasi yang busuk, dan sudah tiada guna pun melimpah. Persoalannya,  bila si pengguna media sosial itu tidak memiliki filter yang baik, maka semua informasi itu akan 'bablas' masuk ke dalam benak.  

Dalam kasus tertentu, bila sikap mental dan kecerdasannya tidak matang, alih-alih mendapatkan informasi yang bergizi atau bernutrisi, hal yang terjadi malah sebaliknya, yaitu mendapatkan informasi busuk yang merusak mental dan juga pemikiran. 

Kendati begitu, informasi media sosial, walaupun dengan karakter yang serupa tadi, meminjam istilah Akbar S. Ahmed (1993), zaman serupa ini memang memiliki wajah ganda, antara wajah iblis dan wajah malaikat. Media sosial atau globalisasi atau era posmodernisme, atau era post-truth, menyajikan informasi yang potensial berwajah ganda. 

Bila tidak matang dengan sikap selektif, maka harapan untuk mendapatkan informasi yang bernash, malah mendapatkan informasi yang naas. Karena itu,  latihan berpikir dan latihan memilih dan memilah menjadi sangat penting.

Dalam konteks inilah, dunia pendidikan memiliki kewajiban moral untuk menciptakan lingkungan belajar yang mampu menghidupkan pola pikir yang terbuka atau pola pikir yang cair (fluid thinking) pada setiap peserta didiknya. Pola pikir yang cair ini, setidaknya memiliki fungsi untuk meminimalisir keterjerembaban generasi muda kita dalam mengkonsumsi informasi yang kurang tepat.

Jika seseorang terjebak menjadi pengkonsumsi narkoba, mungkin yang akan merugi adalah fisik, dan masa depan dirinya. Tetapi, jika seseorang terjerembab mengkonsumsi informasi yang sesat, dan tidak sehat, maka selain menjebak dia pada kesesatan dirinya, pun, dapat menyesatkan orang lain. Meluruskan besi yang bengkok, jauh lebih mudah dibandingkan meluruskan pola pikir yang sesat.

 Terlebih lagi, si pelaku sudah merasa benar dengan pemikiran yang salah.  Karena yang jadi masalah itu, bukan hanya produk berpikirnya, melainkan pola pikirnya. Inilah tingkat kebahayaannya, dari mengkonsumsi informasi yang keliru.

Kemudian dalam sisi lain, berpikir cair (fluid thinking) bukan berarti pola pikir yang mudah nerima, atau mudah larut dengan campuran baru.  Meminjam penjelasan ahlinya, fluid Intelligence adalah kemampuan beradaptasi dengan pengetahuan atau informasi baru serta berpikir secara fleksibel. 

Tipe kecerdasan yang unik ini umumnya mencakup kemampuan untuk memahami dan membuat hubungan konseptual. Dengan pengembangan nalar cair ini, seseorang bisa menerima, mengolah, mengunyah, mengkritisi, dan membersihkan informasi yang campur aduk itu, sehingga kembali menjadi informasi yang bersih dan  bening. Informasi yang terakhir inilah, yang kemudian dikonsumsinya. 

Dengan informasi yang bersih dan bening ini, akan menjadi nutrsi bagi orang dimaksud, untuk terus mengembangkan nalarnya sehingag menjadi penalaran yang tumbuhkembang dengan sehat.  Maka kemudian daripada itu, dikenal pula ada istilah nalar-tumbuhkembang atau growth mind set.

Tampaknya, khususnya dalam kesadaran kita hari ini, tidak mungkin seseorang bisa memiliki growt mindset (nalar tumbuhkembang), bila tidak memiliki pola pikir cair. Karena untuk bisa tumbuhkembang, maka dia harus ada kesediana menerima yang baru, sikap kritis, dan fleksibel dengan kondisi, serta mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.  Bila seseorang ada dalam situasi serupa ini, maka dia akan mampu melakukan transformasi kesadaran secara dinamsi dan berkelanjutan.

Lha, lantas, apa hubungannya dengan tradisi kita yang kerap berhadapan dengan media sosial, sebagaimana yang disampaikan di awal pembicaraan ini ?

Ya, inilah masalahnya.  Informasi di media sosial itu, adalah informasi yang membuncah, bercampuraduk. Manakala, seseorang tdak cermat dalam memilih dan memilahnya, maka dia akan terkena virus informasi busuk dan buruk. Manusia modern ini, perlu ada pencernaan (nalar) yang unggul, yang mampu mengunyah ragam informasi dengan baik, sehingga bisa menelan atau mengkonsumsi hanya informasi yang sehat saja. 

Kalau pencernaan (otak) yang sudah sakit-sakitan, maka makanan apapun akan masuk, dan rasanya-rasanya, orang ini akan mudah sakit-pikiran. Dia bukan hanya akan terancam gagal-ginjal, tetapi juga gagal-nalar dalam menghadapi kehidupan masa kini..  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun