Selasa pagi. Tidak seperti selasa kemarin. Juga tidak seperti selasa yang lalu. Selasa pagi ini, nama sama seperti hal biasanya, namun suasana terasa sangat jauh berbeda. Selasa ini, tidak seperti kemarin, apalagi seperti selasa yang lalunya. Di sinilah kita merasakan, bahwa nama bisa menjadi Sejarah abadi, tetapi makna dibalik nama akan berkembang  seiring waktunya.
Udara masih dingin. Matahari belum hadir. Hilir mudik manusia sudah ramai, masih seperti yang lalu. Hilir mudiknya masih sama seperti yang lalu, namun pelakunya, seperti banyak yang baru. Dinginnya seperti hari kemarin, tetapi menggigilnya terasa lebih menembus dari angin.
Entah ada harapan. Atau sekedar kilatan sebuah Impian. Hanya diri mereka sendiri, yang paham, terhadap apa yang terjadi dalam dirinya yang dalam. Derap langkah mereka ayunkan, bak  irama hidup yang mereka tunjukkan.
Sekali lagi. Matahari belum hadir. Mungkin bukan ingkar janji. Atau, hilang rasa berani. Tetapi, kabut yang masih menyelimuti. Hingga matahari belum menyapa bumi. Itulah potensi yang  berbeda dengan aksi. Kadang aksi, kerap kali membayang, lebih disebabkan karena selimuti yang menutupi.Â
Seorang anak, tampak berjalan. Menenteng tas di pinggang. Menuju sebuah sekolah, yang diyakininya memberi harapan. Bernama sekolah, yang -lagi-lagi, dijadikannya sebagai pintu menuju sebuah harapan, dan gerbang pemujaan. Walaupun kadang tidak memberikan kepastian.
"wahai anakku, Â kenapa kau baru tiba?" sapa orangtua, berseragam dinas. Berdiri tegap. Di genggamnya daftar hadir yang lengkap. Lembaran yang menjadi saksi, membantunya membuat warna pendidikan, menjadi hitam atau putih, menjadi terang atau buram. Â Laporan kegiatan, menjadi bukti ke atasan, setiap dia menghadap.
"Aku telat,.." jawab anak tanpa ragu, tapi sedikit malu. Mengungkap kenyataan dihadapan guru, yang selama ini, menjadi panutan dan juga teladan hidup. "Bantu orangtua dulu.....", imbuhnya lagi, sedikit merunduk memohon belas kasih dari sang guru piket, yang ada dihadapannya saat itu.
"Oh..." begitulah, sang Guru mengelus dada. Jiwa bergejolak, Â rasa membuncah. Saat menatapnya anak itu, eh, malah wajah anak-anak di rumahnya membayang dan menyapa. Â Disaat itulah, ketegasan dan kebelaskasihan hadir mengaduk-aduk rasa.
"maaf, aku salah..." tutur anak yang berdiri. Bukan satu atau dua kali dia lakukan. Kesiangan, bahkan menjadi kebiasaan. Namun dia sadar, sulit untuk menghilangkan, sesuatu yang ada dalam kehidupan di rumahnya tersayang.  "mungkin, besok, aku tak akan  mengulang.." ungkapnya lantang, namun tampak sangat meradang. Ungkapan yang terang, dan sadar bahwa dirinya tidak akan bisa merealisasikannya  di masa yang akan datang.
Sang Guru yang tadi berdiri tegak, mendengar dengan tegas, kata dan sikap yang anak itu ungkap dengan tulus ikhlas. Namun, dalam jiwa sang Guru kini hadir. Halaman demi halaman hidup, yang membias. Antara siang dan malam, menjadi temaran. Antara hitam dan putih, menjadi buram. Bukan bingung yang dipikirkan, tetapi kegalauan yang dirasakan.
Halaman pertama yang tiba. Seorang anak datang dengan ceria, diantar ayah dan bunda. Menggunakan roda lebih dari dua. Bukan hanya itu yang dia dapatkan setiap harinya. Ditambah bekal yang jumlahnya tak terkira. Bahkan, pulangpun, dia sudah dijemput ayah atau bunda. Tampaklah, seakan itulah hidup anak yang sarat dengan rasa Bahagia.
Halaman lainnya datang mengiringi. Seorang anak, berjalan dijalan sendiri. Tanpa ayah ibu, mendampingi. Namun, tampak tetaplah ceria dihati. "kasihan, pada ayah ibu, kalau capek", ungkapnya lirih, saat banyak orang bertanya, terhadap kelakuannya selama ini.
Halaman lainnya datang menjelma. Sayangnya, hanya sepotong cerita ada dalam lembarannya. Orangtua datang berdua, ke sekolah anaknya yang selama ini berada. Wajahnya, kurang bersahabat, dan tidak ceria. Karena sang anak, lama tak pernah berjumpa. Entah, ada cerita apa selanjutnya, lembaran itu hilang, tak ada beritanya....
Entah halaman keberapa sudah dia buka. Namun di situlah, dia melihat orangtua yang gusar. Mendampingi anaknya menuju sekolah yang dulu dia daftar. "kamu harus giat dan tetap sabar.." ungkap sang orangtua dihadapan anak yang tampaknya belum juga sadar, bahwa dirinya kini masih memiliki kewajiban untuk belajar.
Dari pojok Pustaka, datanglah sang kancil, yang mencuitkan sebuah kata, "kematangan dihasilkan dari keberanian menghadapi kenyataan". Sebuah cuitan, yang hingga kini, masih tetap menjadi misteri dalam diri seorang tenaga pendidik, yang piket di selasa pagi. "mungkin, itulah kenyataan pahit untuk meraihnya, manisnya hidup", sang kancil bertutur lagi, "pahit dan manis dua rasa beda, tetapi kadang saling beriringan mengisi kehidupan..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H