Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teknik Memarahi In-situ atau Ex-situ

3 Maret 2024   06:56 Diperbarui: 3 Maret 2024   09:36 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepekaan Ruang Kemarahan (sumber: pribadi, bing.com) 

"kenapa mengalah?" ucap seorang lelaki muda, saat melihat teman dekatnya, berhenti bicara dengan lawan bicara di tengah lapang. "dikira akan terus bertahan, eh, malah berhenti...." ungkapnya lagi, dengan nada, sedikit nyinyir melihat kelakuan temannya ini. Dalam pandangannya, orang yang ada di depannya itu, dianggap sebagai orang yang sarat dengan argument, namun kini, mengalah di depan anak - belia yang ada di hadapannya.

Saat itu, konteksnya, adalah ada perdebatan, antara teman sang lelaki itu, yang juga adalah guru di sekolah itu, dengan seorang pengurus OSIS di sekolahnya. Perdebatannya, hanya soal susunan acara dalam kegiatan OSIS. Perdebatan terbilang sengit, dihadapan peserta upacara. Orang yang berdebat, tidak kurang dari 4 orang. 

Seorang guru senior, tiga orang siswa dari panitia. Mereka melakukan perdebatan sengit, mengenai susunan acara pembukaan. Boleh ditukar-waktu, atau tidak. Susunan acara memang sudah di susun, namun, situasi menuntut ada pemikiran baru. Pasalnya, tokoh yang ditunggu belum menunjukkan adanya pasti jam kedatangan ke lokasi kegiatan, sementara peserta upacara sudah hampir 1 jam lebih berbaris di lapangan. 

Di lain pihak, rangkaian acara lainnya, menunggu kepastian. Terbayang sudah, bila telat memulai, maka keterselesaiannya kegiatan itu, bisa larut malam. Sementara, peserta lomba, ada anak dibawah usia dengan lokasi rumah yang cukup jauh dari lokasi pelaksanaan perlombaan. Maka wacana, tukar susunan menjadi tema debat saat itu. 

Hemat kata, perdebatan panjang, memakan waktu lebih dari 15 menitan, dialog di tengah lapangan. Bisa jadi sejumlah waktu itu, tidak cukup untuk saling meyakinkan mengenai pentingnya fleksibilitas acara dengan ketaatan pada susunan acara. Namun, karena melihat situasi, sang guru yang mengalah, "ya, sudah, silahkan, laksanakan sesuai acara.." ungkapnya, sambil menghindar dari kerumunan itu. Situasi inilah, yang kemudian dinilai oleh sang lelaku muda itu, diposisikan sebagai sikap yang mengalah.

-o0o-

Aura emosi tinggi. Bukan hanya pada guru tersebut.  Tetapi juga pada wajah-wajah panitia. Mereka menyandarkan diri pada petuah pelatihnya, bahwa acara harus dilakukan sesuai dengan susunan acara yang baku, yang sudah disepakati sebelumnya. Sehingga, dengan sedemikian rupa usaha, mereka bertahan. Sayangnya, si pelatih tidak ada di lokasi. 

Sementara pihak guru, melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk menunggu dalam waktu yang lama, sementara kekosongan acara dibiarkan tidak bermakna. Inilah situasinya.

Pertanyaan krusialnya, bolehkan kita memarahi seseorang di depan orang lain yang mungkin jadi tidak paham masalah, tidak mengerti masalah atau tidak ada kaitannya dengan masalah yang kita bicarakan?

Dalam platform media sosial, kadang disuguhi konflik personal antara laki dan perempuan. Marahan di depan mall di sebuah perkotaan. Sementara, di kanan kirinya, banyak lalulalang orang dengan maksud dan tujuan masing-masing. Atau, dalam kasus lain, ada seorang pejabat negara marah-marah ke bawahannya, kemudian direkam oleh pihak lain. Sementara pegawai lainnya, bengong melihat situasi itu. Sang pejabat dengan gagah dan kuasanya, marah kepada bawahannya.

Apa yang terjadi dengan kejadian seperti itu?

Dua sudut pandang berbeda, terjadi dalam menganalisis masalah ini. Pandangan pertama, memiliki keyakinan bahwa peneguran atau koreksi hendaknya dilakukan di lokasi faktual. Dengan kata lain, teguran atau marah yang in situ,  merupakan sebuah pendekatan faktual dalam menjelaskan dan meluruskan sebuah persoalan.  Saat ada kejadian, dan ditempat kejadian itulah, lokasi terbaik dalam memberikan komentar, teguran, kritik, termasuk marah kepada si pelaku. 

Strategi ini, memiliki makna orisinal. Baik di penegur maupun si pelaku, ada dalam kondisi emosi dan psikologi yang terikat dengan konteks dan situasinya. Sehingga, teguran yang in-situ dianggap menjadi pilihan tepat untuk dilakukan. 

Misalnya, menegur siswa, ditempat terjadinya kejadian. Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah lokasi yang orisinal, dalam melakukan peneguran kepada orang lain. Sisi negatifnya, seseorang akan cenderung melakukan pembelaan, kendati potensial dibaluti oleh emosi atau ketidakstabilan jiwa, sebagai orang tersudut. Seorang lelaki, yang ditegur di depan pacarnya, akan berusaha keras untuk menunjukkan kewibawaannya, walaupun mungkin ada dalam posisi yang tidak tepat !

Pandangan yang kedua, teguran lebih tepat dilakukan di tempat privacy, misalnya dipanggil ke ruang kerja, dan baru kemudian diberikan penjelasan. Teknik ini disebutnya ex-situ. Tujuannya, menjaga kehormatan si pelaku, dan juga menjaga kondisi lingkungan  yang ada. Artinya, jika ada siswa yang melakukan kesalahan, jangan dimarahi atau ditegur keras di depan anak-anak lainnya. Karen sikap seperti itu, akan mencoreng nama baik, dan menyebabkan 'ketakutan' pada kelas dimaksud.

Kelemahan pendekatan  ini, saat anak diberi waktu untuk terpisah dari in-situnya, maka dia memiliki kesempatan untuk menyusun rancangan apologi dihadapan pengoreksinya. Maka. bisa terjadi, peneguran di luar konteksnya, atau di luar ruang kejadiannya, akan melahirkan drama-argumentasi yang lebih dramatis, dibandingkan dengan pengoreksian dalam konteksnya. 

Nilai positifnya, diantara kedua belah pihak, memiliki waktu refleksi, sehingga bisa jadi, berpeluang untuk memberikan argumentasi yang lebih rasional atau bijak, dibanding dalam situasi insitu.

Dua pandangan ini, menarik untuk dikaji secara lebih lanjut. Gejala ini, memberikan stimulasi mengenai pengoreksian perilaku, termasuk kemarahan, ternyata memiliki kaitan dengan ruang (space). Kesalahan kita dalam memahami ruang, atau ketidakpekaan terhadap ruang, maka kemarahan akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif.  Kualitas kepekaan ruang, memberikan gambaran kedewasaan seseorang dalam mengontrol emosinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun