Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teknik Memarahi In-situ atau Ex-situ

3 Maret 2024   06:56 Diperbarui: 3 Maret 2024   09:36 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua sudut pandang berbeda, terjadi dalam menganalisis masalah ini. Pandangan pertama, memiliki keyakinan bahwa peneguran atau koreksi hendaknya dilakukan di lokasi faktual. Dengan kata lain, teguran atau marah yang in situ,  merupakan sebuah pendekatan faktual dalam menjelaskan dan meluruskan sebuah persoalan.  Saat ada kejadian, dan ditempat kejadian itulah, lokasi terbaik dalam memberikan komentar, teguran, kritik, termasuk marah kepada si pelaku. 

Strategi ini, memiliki makna orisinal. Baik di penegur maupun si pelaku, ada dalam kondisi emosi dan psikologi yang terikat dengan konteks dan situasinya. Sehingga, teguran yang in-situ dianggap menjadi pilihan tepat untuk dilakukan. 

Misalnya, menegur siswa, ditempat terjadinya kejadian. Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah lokasi yang orisinal, dalam melakukan peneguran kepada orang lain. Sisi negatifnya, seseorang akan cenderung melakukan pembelaan, kendati potensial dibaluti oleh emosi atau ketidakstabilan jiwa, sebagai orang tersudut. Seorang lelaki, yang ditegur di depan pacarnya, akan berusaha keras untuk menunjukkan kewibawaannya, walaupun mungkin ada dalam posisi yang tidak tepat !

Pandangan yang kedua, teguran lebih tepat dilakukan di tempat privacy, misalnya dipanggil ke ruang kerja, dan baru kemudian diberikan penjelasan. Teknik ini disebutnya ex-situ. Tujuannya, menjaga kehormatan si pelaku, dan juga menjaga kondisi lingkungan  yang ada. Artinya, jika ada siswa yang melakukan kesalahan, jangan dimarahi atau ditegur keras di depan anak-anak lainnya. Karen sikap seperti itu, akan mencoreng nama baik, dan menyebabkan 'ketakutan' pada kelas dimaksud.

Kelemahan pendekatan  ini, saat anak diberi waktu untuk terpisah dari in-situnya, maka dia memiliki kesempatan untuk menyusun rancangan apologi dihadapan pengoreksinya. Maka. bisa terjadi, peneguran di luar konteksnya, atau di luar ruang kejadiannya, akan melahirkan drama-argumentasi yang lebih dramatis, dibandingkan dengan pengoreksian dalam konteksnya. 

Nilai positifnya, diantara kedua belah pihak, memiliki waktu refleksi, sehingga bisa jadi, berpeluang untuk memberikan argumentasi yang lebih rasional atau bijak, dibanding dalam situasi insitu.

Dua pandangan ini, menarik untuk dikaji secara lebih lanjut. Gejala ini, memberikan stimulasi mengenai pengoreksian perilaku, termasuk kemarahan, ternyata memiliki kaitan dengan ruang (space). Kesalahan kita dalam memahami ruang, atau ketidakpekaan terhadap ruang, maka kemarahan akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif.  Kualitas kepekaan ruang, memberikan gambaran kedewasaan seseorang dalam mengontrol emosinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun