Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Individualita dan Socialita

29 Februari 2024   04:55 Diperbarui: 29 Februari 2024   05:04 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini. Di kelas ini, tidak seperti biasanya, belajar di kelas dengan cara berkelompok. Tidak lebih dari 6 orang, dan tidak kurang dari 5 orang. Berkelompok, memecahkan masalah, yang disajikan secara tertulis, dari sang guru, yang kini duduk istirahat di meja depan kelas.

Dikelompokkan secara acak. Namun melahirkan sebuah keteraturan. Seakan alam sudah bisa bicara, keacakan bukanlah acak, karena keteraturan bisa hadir dari sebuah situasi yang acak. Sesuatu yang disebut acak, karena kita merasa belum paham terhadap pola atau kepatutan.

Mereka duduk berkelompok. Di satu tempat yang disetujui. Sayangnya, semua itu, hanyalah fisik belaka.

Saat mereka duduk bersama, hati dan pikiran tetaplah mengembara. Tak ada seorang pun yang tahu, dan sadar terhadap hal sebenarnya. Kebersamaan fisik, bukanlah kesatuan jiwa. Kesatuan jiwa, tidaklah mempersyaratkan kebersamaan jasad. Demikian, ucap dari sang pujangga.

Mereka bertutur kata, namun tidak dianggap sebagai berucap rasa. Hanya kata yang terlontar, demi sebuah Hasrat yang tidak  mereka inginkan. Kata meluncur baik angin, bergerak berhembus pergi entah ke mana.

Kedengarannya ada tema yang dibicarakan. Saling koreksi dan juga dukungan. Kata demi kata terlontar sudah, membentuk kalimat, yang diharapkan menghadirkan makna. Karena hanya itulah, impian yang selama ini mereka damba.

Tema-tema mereka ulas, atau sekedar diterka-terka. Entahlah. Tetapi itulah, dinamika anak-anak, yang menyatakan diri sebagai  pembelajar. Niat baik belajar kebaikan, yang tampak dan mengemuka adalah belajar menerka dan menebak belaka. Mereka berkumpul sekedar menebah makna, dan menerka cara dalam  memecahkan masalah yang dihadapinya.

Dari perjalanan ini, lorong sosialitas mennjadi sebuah misteri. Misteri kedirian, yang kini makin mengaku. Menyendiri. Sosialitas menjadi asing,  ghaib, dan hanya ada dalam harapan. harapan kita bersama, yang ada adalah dirinya. Memimpikan ada kesatuan, yang ada hanya ada satu. Kemandirian membuncang dengan kesendirian, dan kesendirian dianggapnya sebagai kemandirian. 

Wahai manusia,

"Ku ciptakan kau dari satu ego. Kemudian tumbuhkembanglah berpasang-pasangan.." demikianlah firman Yang Mahakuasa.

"andai manusia adalah makhluk sosialita, lantas kenapa lahir sendirian ?" tanya seseorang dari pojok bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun