Ada oknum, sekali lagi oknum, mengakunya demi budaya. Merasa tidak betah karena beda suku. Merasa egois karena menjadi kelompok dominan. Merasa bangga karena Bahasa daerahnya di pakai kelompok. Maka, itulah yang disebut TAIK budaya dalam kehidupan kita.
Untuk  kesekian kalinya, ini sekedar oknum. Busana kelihatannya alim.  Tampak seakan rajin hadir di tempat ibadah. Bangga dengan ibadahnya. Merasa nyaman dengan busananya. Kokoh dengan pendiriannya, kendati harus berbeda dan merugikan orang lain da tetangga, bahkan kerusakan pada tatanan sosial. Maka, itulah y ang disebut TAIK agama dalam kehidupan Masyarakat kita.
Dari pengalaman ini. Andai huruf adalah tanda budaya. Andai susunan adalah struktur sosial kita. Andai kata adalah kolektivitas kita. Nampak jelas dan nyata, perubahan tanda, dan struktur, akan melahirkan martabat kolektivitas yang berbeda. Itulah hidup. Itulah kenyataan. Kenyataan itulah hidup, dan hidup itu adalah nyata.
Dari sini pula. Kita menyadari bahwa (1) kita bisa terikat, (2) kita bisa terkait, (3) kita bisa jadi taik, (4) atau kita adalah kita, atau bisa lebih bervariasi lagi, dari sekedar itu. Â Hal pokok, Â KITA, KAIT, IKAT dan TAIK, bukanlah produk permainan kata. Semua itu adalah produk proses dan perjalanan Sejarah. Sejarahlah yang melahirkan KITA, IKAT, TAIK, dan KAIT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H