Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Surat Terbuka, Untuk Capres Terpilih

14 Februari 2024   11:54 Diperbarui: 14 Februari 2024   12:06 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
larilah Bangsaku (sumber: pribadi, bing.com) 

Salam sejahtera, bagi kita semua, 

salam alaikum warahmatullahi wa barakatuh, 

Tepat, pukul 11.00 WIB tadi, melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.  Kata para ahli, disebutnya kewajiban konstitusional lima tahunan, bagi seorang warga negara.  Kewajiban konstitusional itu, yakni  memberikan suara politik dalam pemilihan umum, baik untuk Pemilihan calon legislatif, calon anggota perwakilan daerah (DPD), anggota perwakilan rakyat baik kota, propinsi maupun pusat, serta calon presiden.

Pengalaman ini, bukan hal yang baru. Bisa jadi, ada diantara kita ada yang sudah merasakannya 2x, 3x, 4x atau 7 x, atau lebih dari  itu. Kendati demikian, saya merasa yakin, pengalaman pemilu kali ini adalah hal baru, dan terbaru, bagi siapapun. Terlepas sudah pernah berapa kali merayakan pemilu, namun pengalaman kali ini, terasa baru bagi siapapun, dan dimanapun. 

Kok bisa ?

Ya, inilah beberapa catatan penting, setidaknya, catatan pribadi, selepas melaksanakan kewajiban konstistusi kali ini. 

Menurut beberapa orang, praktek pencoblosan  kali  ini, cukup menguras pikiran. Setidaknya, saat pilihan itu tidak dikenal. Spanduk tidak ada, komunikasi tidak ada, tetapi dalam waktu kurang dari 5 menit, dipaksa harus dipilih. Benar-benar pusing. Kalau, bagi sebagian orang, ada yang menyebutnya asal coblos saja, "habis gak kenal sih, walaupun kenal, perasaan tidak pas banget di  hati.."

Inilah kenyataan, atau setidaknya, sebagian percikan pesta demokrasi lima tahunan. Merenungkan kejadian ini, terbersit dalam pikiran, "apakah ini, hasil dari proses kampanye di tahun ini ?", atau "apakah seperti inilah, kedewasaan demokrasi negeri kita ini?". Saya sendiri, gak bisa jawab, mungkin akademisi, atau elit politik, atau Bapak Capres/Cawapres terpilih, bisa meluangkan waktu untuk merenungkan kasus-kecil praktek demorkasi anak bangsa serupa ini.

Bila hal ini terjadi, atau malah bisa muncul juga disejumlah TPS di negeri ini, rasanya tidak mengherankan, bila kemudian, ujug-ujug ada wakil rakyat yang terpilih, padahal tidak dikenal, atau muncul anggota DPD yang tidak diharapkan dalam benak rakyat. Mungkin mereka itu adalah orang-orang mendapat durian runtuh suara, akibat kefrustasian warga negara saat memberikan suara di bilik suara. Sehingga, lubang coblosannya disematkan di  kertas suara, tetapi harapan dan aspirasinya, entah melayang ke mana...

Ah.. biarkanlah itu berlalu. 

Hari ini, lebih baik digunakan untuk curhat kepada capres/cawapres  yang terpilih. Mengapa ini penting ? setidaknya, karena, isu, berita dan perbincangan masalah capres jauh lebih hingar bingar terjadi di tengah masyarakat, dibanding dengan yang lainnya. Oleh karena itu, membuat surat terbuka kepada Capres terpilih, rasanya lebih tepat, dibandingkan kepada wakil rakyat, yang bisa jadi belum tentu mewakili rakyat --walaupun memang dia mendapat lubang pencoblosan yang banyak.

Wahai Pak Capres/Cawapres terpilih....

Siapapun dan pasangan manapun kalian, karena surat ini ditulis sebelum dihitung dan disahkan. Plis deh, kalau ada waktu, curahan ini dibaca dulu. Boleh langsung, atau boleh juga mendelegasikan ke tim (pede banget yah... merasa penting gitu lhoo..).

Pertama, kondisi sosiologis (duh, apa atuh ya istilahnya), wakil rakyat yang terpilih, tidaklah sesuai dengan kebutuhan warga. Mereka terpilih itu ada yang hasil serangan fajar, pencoblosan tanpa pemikiran, atau titipan tetangga atau saudara, tanpa harus tahu alasannya, dan masih banyak yang lainnya. Oleh karena itu, komunikasi politik dengan wakil rakyat, hendaknya dibangun dengan baik dan efektif. Janganlah membuat jarak, antara Capres/Cawapres dengan wakil rakyat tersebut.

Kedua, kondisi sosiologis pemilih, yakni kami-kami ini, ternyata terbagi menjadi tiga atau empat golongan. Golongan-golongan tersebut, yaitu kelompok pendukung yang memenangkan kontestasi, kelompok pendukung yang kalah kontestasi, dan kelompok orang yang apatif (tidak pilih sana-sini), dan kelompok oportunis (cuek siapapun yang menang, yang penting tidak merugikan). Mereka itu, adan masih ada sampai akhir hayat. Karena itu, perhatian Capres/Cawapres terpilih, diharapkan tidak hanya memperhatikan golongan pendukungnya saja. Karena, kami pun, adalah tetap warga negara Indonesia.

Dalam perhelatan tahun ini. Tanpa harus menyebutkan pilihannya siapa, dan mengapa, tetapi, kami atau kita ini, masihlah tetap warga negara Indonesia. Sedangkan pencoblosan, lebih sekedar merupakan kewajiban konstitusi itu sendiri. Artinya, dengan melakukan pencoblosan, adalah bukti bahwa kami masih bertanggungjawab terhadap masa depan negara dan bangsa ini, walaupun mungkin berbeda pilihan dengan pemenang hari ini. Karena itu, rasanya, kendati kemarin beda pilihan, namun tetaplah warga negara. 

Lho, kok... seperti ketakutan pemimpin ini, akan berpihak pada kelompok tertentu saja ? Ya, gak begitu juga. Hal yang paling ditakutkan itu, adalah rakyat yang milih dilupakan, sedangkan orang kaya yang memodali kampanye diperhatikan. Itulah yang kita maksudkan di sini !!!

Ketiga, lakukanlah segera sikap dan tindakan kenegarawanan, dengan melupakan jejak-jejak politik prapemilihan. Karena, andai hal itu dibiarkan berlarut, akan terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami bosan, melihat, menyimak, dan diseret-seret  untuk terlibat kegaduhan paska pilpres.

Sadarkan para pendukungnya, untuk kembali normal dan menata kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Terima kasih

Salam,  

salah seorang rakyat Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun