Belum lama ini terjadi diskusi ketat di dalam kelas. Biasa, dalam tema dinamika kependudukan di kelas, ada pokok kajian mengenai angka kelahiran. Terkait dengan angka kelahira, ya, bakalan bicara mengenai angka pernikahan. Tema inilah yang banyak diulas dan dibincangkan di kalangan anak-anak.
Ada beberapa hal penting, yang terkait dengan rencana pernikahan. Saya ingin menyebutnya, prakondisi keliru dalam merencanakan pernikahan.Â
Kenapa disebut prakondisi yang keliru ? tentunya, Â lebih disebabkan karena ada persepsi yang kurang tepat, terkait dengan rencana pernikahan yang biasa dilakukan atau dirasakan oleh anak-anak yang mau nikah.Â
Pertama, menikah itu dilandasi oleh cinta, tetapi banyak dihancurkan oleh anak. Maksudnya, sangat sederhana. Sewaktu berkenalan, atau merencanakan pernikahan, banyak anak muda membangun hasrat cinta dan memupuk cinta dua insan. Sehingga karena alasan cinta itulah, kemudian mereka bertekad untuk melangsungkan pernikahan. Sayangnya, selepas nikah, tetapi kemudian, belum juga dikarunia anak, eh, malah menjadi benih percekcokan.
Kenapa bisa begitu ?
Kalau niatnya, menumbuhkembangkan cinta, maka anak jangan jadi alasan keramahan dan kerukunan keluarga. Kehadiran anak adalah hadiah dari Tuhan, atau benefit dari sebuah percintaan. Jangan  terbalik. Fenomena yang ada saat ini, justru karena tidak punya anak, seorang istri mulai mengalami kegundahan dan kegelisahan, seakan menjadi beban nenek-moyang, atau beban keluarga, karena tidak memiliki keturunan.Â
Jangankan tidak punya anak. Telat memberikan keturunan pun, kerap kali menjadi 'keluhan' keluarga, atau  menjadi bahan pergunjingan keluarga. Padahal nyata-nyata, sebelum nikah, tidak pernah dibincangkan akhir dari kisah seperti ini, Itulah kekeliruan.
Solusinya, jika memang dari sebuah pernikahan itu dimaksudkan untuk memiliki keturunan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah cek kesehatan. Semua orang, melakukan cek kesehatan untuk mengetahui kemungkinan atau peluang memiliki keturunan atau tidak. Hari ini, dunia kesehatan dan teknologi kedokteran sudah mumpungi untuk mengetahui hal ini. Buatlah saling pengertian terhadpa kedua belah pihak, terkait dengan status fertililtas masing-masing.
Kedua, senafas dengan ide pertama tadi, yakni merancang pernikahan dengan landasan cinta, namun hancur keluarga karena masalah cinta. Ini adalah masalah aneh, dan kekeliruan yang sangat fatal. Di sebut demikian, karena jelas sudah, bahwa atmosfer pacaran tidak berkelanjutan menjadi atmosfera pernikahan. Saat pacaran, menumbuhkembangkan cinta dan  hasrat, sedangkan selepas pernikahan menguat-ngaitkan masalah nafkah dan kesejahteraan.
Sekali lagi. Untuk hal seperti ini pun, perlu antar kedua belah pihak untuk saling mengecek kesehatan ekonomi. Lakukan evaluasi dan pengukuran terhadap kekuatan ekonomi. Buat instrumen yang bisa mengukur kesejahteraan. Â Jangan sampai, menggadang-gadang cinta dan ketulusan, tetapi selepas pernikahan mencekcokkan masalah ekonomi.
Benar kata orang bijak, untuk terjadinya pernikahan butuh CINTA, tetapi untuk merawat cinta butuh HARTA. Karena itu, tepatlah bila dikatakan oleh Alvin Toffler, bahwa membangun keluarga di masa depan itu, butuh energi kompleks yang disebut CINTA++. Plusnya itu adalah instrumen pensejahteraan, atau lebih sederhananya yaitu ekonomi.
Ketiga, tidak kalah menariknya lagi, membicarakan masalah masa depan. Ingatlah, bahwa nikah itu bukan untuk merawat cinta berdua, tetapi untuk masa depan manusia dan kemanusiaan. Menikah bukan untuk memelihara kesetiaan, tetapi juga untuk melahirkan keturunan dan penurunan harapan. Sebagai lanjutan dari persoalan lanjutan dari masalah pertama, andai nasib menimpa pasangan tersebut, dan kemudian menyebabkan satu diantara pasangan itu infertil, tetaplah jaga keutuhan keluarga. Â Namun, bila kedua belah pihak ada dalam keadaan sehat, maka jaga masa depan keturunan itu.
Maksudnya apa ? bayangkan kemampuan dan kebugaran  kedua mempelai dengan masa depan anak. Menunda pernikahan, mungkin adalah hak. tetapi, memperhatikan masa depan keturunan sendiri adalah kewajiban. Taruhlah, misalnya, kedua mempelai menikah di usia 35 tahun lebih. Sehingga pada saat anak lahir, minimalnya pada usia 36 tahun. Saat anak berusia 16 tahun, atau sekolah di jenjang  pendidikan menengah, usia kedua orangtuanya sudah beranjak sampai 50 tahunan, atau menjelang pensiunan.
Bila ada anak kedua, maka saat orangtua jelang pensiun, anak-anak masih ada yang duduk di sekolah SMP/SMA. Sementara, kemampuan mencari nafkah dan kebugaran orangtua, sudah mulai menurun. Oleh karena itu, sekali lagi, menikah itu, bukan sekedar memelihara dan merawat cinta yang  tulus dari kedua mempelai, melainkan untuk menatap masa depan keturunan itu sendiri. Oleh karena itu, bijaklah dalam menentukan usia pernikahan !
Mungkin hal-hal tersebut, masuk kategori persepsi subjektif, namun, bisa bermanfaat untuk direnungkan, dijadikan bahan pertimbangan, saat seseorang bermaksud untuk menunda pernikahan, dan/atau melangsung pernikahan !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H