Ketiga, tidak kalah menariknya lagi, membicarakan masalah masa depan. Ingatlah, bahwa nikah itu bukan untuk merawat cinta berdua, tetapi untuk masa depan manusia dan kemanusiaan. Menikah bukan untuk memelihara kesetiaan, tetapi juga untuk melahirkan keturunan dan penurunan harapan. Sebagai lanjutan dari persoalan lanjutan dari masalah pertama, andai nasib menimpa pasangan tersebut, dan kemudian menyebabkan satu diantara pasangan itu infertil, tetaplah jaga keutuhan keluarga. Â Namun, bila kedua belah pihak ada dalam keadaan sehat, maka jaga masa depan keturunan itu.
Maksudnya apa ? bayangkan kemampuan dan kebugaran  kedua mempelai dengan masa depan anak. Menunda pernikahan, mungkin adalah hak. tetapi, memperhatikan masa depan keturunan sendiri adalah kewajiban. Taruhlah, misalnya, kedua mempelai menikah di usia 35 tahun lebih. Sehingga pada saat anak lahir, minimalnya pada usia 36 tahun. Saat anak berusia 16 tahun, atau sekolah di jenjang  pendidikan menengah, usia kedua orangtuanya sudah beranjak sampai 50 tahunan, atau menjelang pensiunan.
Bila ada anak kedua, maka saat orangtua jelang pensiun, anak-anak masih ada yang duduk di sekolah SMP/SMA. Sementara, kemampuan mencari nafkah dan kebugaran orangtua, sudah mulai menurun. Oleh karena itu, sekali lagi, menikah itu, bukan sekedar memelihara dan merawat cinta yang  tulus dari kedua mempelai, melainkan untuk menatap masa depan keturunan itu sendiri. Oleh karena itu, bijaklah dalam menentukan usia pernikahan !
Mungkin hal-hal tersebut, masuk kategori persepsi subjektif, namun, bisa bermanfaat untuk direnungkan, dijadikan bahan pertimbangan, saat seseorang bermaksud untuk menunda pernikahan, dan/atau melangsung pernikahan !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H