Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mi'raj Keadaban dari Kepapaan Kepemimpinan

9 Februari 2024   04:48 Diperbarui: 9 Februari 2024   04:49 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mekar Melati Dalam Hati (Sumber : Pribadi, Image Creator,bing.com) 

Pengalaman kita dalam berdemokrasi, mengantar, menuntun atau memaksa kita untuk memikirkan mengenai perjalanan dan kualitas berbangsa dan bernegara kita saat ini. 

Pengalaman ini, menjadi semakin nyata saat kita dihadapkan dengan realitas politik, yang secara berkelanjutan menunjukkan hal-hal yang masih dikhawatirkan bersama.

Pada mulanya kita menaruh harapan besar kepada mereka yang manggung di dunia politik. Khususnya, mereka yang berasal dari aktivitas atau mahasiswa angkatan 98-an. 

Di pundak merekalah, asa kemajuan dan kedemokrasian bangsa disimpan dan dipertaruhkan. Namun, generasi ini pun, kemudian malah menjadi satu diantara kelompok yang masuk angin. 

Masuk angin, karena kurangnya konsistensi dan komitmen yang kuat untuk tetap menjaga perjalanan reformasi. Salah satu diantara gejala yang muncul, tidak jarang, anak-anak pada usia muda, menunjukkan sikap dan tindakan politik yang tidak matang.

Moralitas yang sudah masuk angin itu, bisa dalam beberapa model. Penyakit ini, mulai dari tindakan koruptif, berteman dengan sikap koruptif, tidak peka terhadap tindakan koruptif, nyaman berteman dengan yang koruptif, atau malah tidak reaktif dan responsif dengan rekanan yang koruptif.  Semua itu, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari psikopatologis generasi kritis yang tengah  mengalami demam-masuk angin di dunia politik. 

Kita semua sempat dan tetap dikagumkan dengan sikap berani, kritis dan tulus atas perjuangan anak-anak muda dalam memperjuangkan demokratisasi di negeri kita ini. Namun, pada saat mereka masuk dalam atmosfera politik praktis, angin-polutan ternyata jauh lebih kencang daripada keteguhan mental yang pernah dibangun sebelumnya. Sehingga, tidak jarang, generasi yang masuk angin itu, kemudian kian hari kian bertambah dan kian mengkhawatirkan.

Kemudian, di masa hari ini, akankah  kita bisa menaruh harapan kepada mereka yang disebut sebagai generasi milenial ? pun demikian adanya. Anak milenial sekarang, kehilangan figur atau kepapaan leader yang akan dijadikan ikon generasi milenial. Siapa mereka, dan apa kiprah mereka ? belum banyak orang yang bisa ditunjuk sebagai figur sentral kelompok ini. 

Generasi kita, atau orang-orangtua di zaman ini, kehilangan arah atau kiblat generasi yang disebut generasi milenial. Hal itu terjadi, karena generasi milenialnya sendiri mengalami kepapaan karakter milenialitasnya. Mereka sudah diberi label milenial, karena akebetulan lahir di zaman ini, bukan karena memiliki karakter milenial. Itulah yang dimaksud dengan kepapaan kepemimpinan.

Mungkin menjadi naif, kalau kita memaksakan harus menunjuk satu diantara generasi milenial ini, sebagai figur sentralnya. Bila saja, kelompok ini ingin mengatakan generasi-kolektif, maka sangat tidak mungkin menemukan satu atau beberapa orang yang bisa dijadikan acuannya. Tetapi, kepapaan kita dalam menunjuk ikon generasi-Z atau generasi milenial sebagai sandaran harapan bangsa di masa kini dan masa depan, pun, akan menjadi anomali perjalanan bangsa ini.

Untuk generasi milenial ini, bila kemudian dikaitkan dengan gerapan politik, khususnya di masa-masa pilpres dan pilleg ini, masih juga menyisakan pertanyaan dan keraguan. Satu sisi, diduga bahwa anak milenial a-politik, dan sisi lain, belum matang secara politik. Bahkan, kasus naik turunnya seorang kader muda dalam partai politik, cenderung dipengaruhi oleh figur orangtuanya di partai politik tersebut.

Di sejumlah spanduk, yang beredar saat ini, cukup banyak kita menemukan contoh, anak-anak muda usia nan belia mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif baik di tingkat kota, propinsi maupun nasional. 

Usut punya usut, ternyata ada dari seorang pimpinan partai, atau anak dari seorang pemilik partai politik. Dengan kekuatan kekuasaan dan modal finansial, trah politik itu kemudian diwariskan secara administrasi dan politik kepada keturunan. Sehingga, kemudian memunculkan istilah dinasti politik dalam partai politik. 

Pada konteks terakhir ini, pun, menjadi sebuah pertanyaan kritis dan mendasar, akankah situasi seperti ini, akan mampu mematangkan demokrasi di negeri yang kita cintai ? Menjadikan orangtua sebagai teladan adalah baik, tetapi menjadikannya sebagai sandaran karir diri sendiri bukanlah jiwa kemandirian. 

Menghormati orang tua adalah baik, tetapi lebih baik lagi memosisikan orangtua sebagai inspirasi, bukan sebagai jalan privacy dalam meraih posisi. Mendapat posisi karena jalur privacy, bukanlah prestasi   yang bergengsi.

Harapan tidak boleh padam. Tetapi harapan yang diacukan pada sebuah jalan dan koridor yang keliru, sudah tentu akan menjadi sebuah harapan palsu. Harapan kebaikan dan kemajuan demokrasi itu, sejatinya  perlu tetap disandarkan pada arah dan gerak perjalanan politik yang memang senafas dengan ruh kedemokrasian itu sendiri. 

Di sinilah, kita bisa melihat, bahwa tumbuhkembang demokrasi di Indonesia, akan sangat bertumpu pada proses demokratisasi sikap dan tindakan, serta pola pikir masyarakat Indonesia itu sendiri.

Kita semua berharap, mi'raj keadaban dalam berdemokrasi, benar-benar akan bangkit, tumbuh kembang dan juga mekar seiring perjalanan kesadaran dan kedewasaan kita, dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara ini. 

Mi'raj keadaban dalam berdemokrasi, yang kita maksudkan ini, yakni naik-meningkat, melesat menuju kualitas keadaban dalam demorkasi yang matang dan dewasa !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun