Pertama, sekolah swasta seperti yang terjadi dalam perbincangan kita ini, masih lebih mengedepankan kebutuhan untuk mempertahankan jumlah siswa, walaupun harus menerima kenyataan, kualitas peserta didik apa adanya. Bagi mereka, jumlah siswa adalah aset dan omset. Sementara yang lainnya, belum bisa dijadikan prioritas.
Kedua, sekolah tersebut lebih takut kehilangan siswa daripada kehilangan marwah (wibawa) layanan pendidikan.  Sikap ini cenderung pragmatis. Karena dalam pikirannya, sekolah adalah sumber pendapatan bagi banyak pihak, dan banyak orang. Maka menjaga aset  lebih penting daripada menjaga kualitas. Walaupun mereka sadar, bahwa kualitas akan mempengaruhi aset, tetapi upaya menjaga aset lebih mudah dibandingkan untuk mengejar kualitas.
Ketiga, pada ujung kasusnya, mereka lebih takut kehilangan siswa daripada melakukan proses penegakkan disiplin. Inilah penyakit mental pengelola sekolah yang lemah, dan terancam menjadi sekolah-gagal !
Tigas pilar alasan itu, kerap kali hadir dalam benak para pengelola sekolah-sekolah yang dikelola dengan seadanya, dan tertatih-tatih untuk bisa eksis. Bila diwarnai dengan pemimpin yang lemah, maka kompleksitas masalah pendidikan di sekolah sudah lengkap, dan kenyataan yang dikeluhkan sahabat kita ini, benar-benar akan menjadi kenyataan, dan menjadi hantu bagi mereka yang masih memikirkan mengenai kualitas dan kedisiplinan lembaga pendidikan.
Apakah bila demikian adanya, sekolah ini merupakan salah satu contoh dari sekolah gagal (failure school) ? silahkan, para pembaca unuk menilai kepatutan dari keberadaan sekolah tersebut ?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H