Ini bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Masalah ekonomi, atau masalah finansial. Mungkin jadi, tidak semua orang mengalami masalah kekurangan finansial. Tetapi, hampir dipastikan, banyak orang -- untuk tidak menyebut semua orang, pernah merasakan masalah finansial. Perbedaan diantara keduanya, adalah masalah kekurangan mutlak, atau kekurangan subjektif terkait kebutuhan finansial tersebut. Â
Di media sosial, kita dihadapkan pada berita dan pemberitaan. Selebritis terkenal di negeri ini, diduga menjadi salah satu orang yang tersandung masalah pencucian uang. Tidak tanggung-tanggung, dugaan pencucian uang tersebut, melibatkan elit selebriti, elit partai dan juga keluarga dari penguasa. Keuangan yang dicuci dan atau digelapkan itu, tentu jumlahnya tidak kecil. Â Pasti dalam angka, dengan jumlah nol, yang tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat awam.Â
Tidak kecil. Tidak sedikit. Itulah kata yang paling pas untuk menggambarkan kasus dugaan pencucian uang yang melibatkan banyak orang, khususnya lagi, dikait-kaitkan dengan musim kampanye seperti sekarang ini.
Masalah finansial, dan kekurangan kebutuhan akan finansial serupa itu, kita sebutnya kekurangan finansial subjektif. DIsebut subjektif, karena kebutuhan pokok akan keuangannya itu sendiri, pada dasarnya sudah terpenuhi. Hanya saja karena ada kebutuhan tersier yang di selaraskan dengan  hasrat-kekuasaannya, maka muncul dan berkembanglah kebutuhan finansial subjektif tersebut.
Untuk masalah kebutuhan finansial subjektif, bisa hadir pada banyak orang. Mulai dari orang yang serakah, boros, cinta dunia, atau jenis hasrat materialisme dan konsumerisme. Mereka itu akan terjebak pada hasrat menguasai dan memiliki keuangan yang melebihi dari kebutuhan dasar hidupnya. Orang yang mengidap penyakit ini, tidak melulu orang  yang berkuasa, atau orang kaya, orang papa dan tak punya punya, bisa jadi ada yang memiliki hasrat ini. Penyakit ini, bisa diidap oleh banyak orang, dan banyak pihak.
Satu jenis lagi, yakni kebutuhan finansial mutlak atau objektif. Istilah ini, kita gunakan untuk menunjukkan pada kondisi seseorang yang memang benar-benar papa, ekonomi tidak mampu atau berkekurangan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier, untuk sekedar kebutuhan primer pun, harus kerja keras terlebih dahulu untuk bisa mendapatkannya. Inilah kondisi kebutuhan finansial objektif. Inilah kelompok sosial yang memiliki masalah kekurangan finansial objektif. Tidak punya uang. Tidak punya duit untuk sekedar makan sekalipun.
Unik memang. Di negeri ini, ada yang memproklamasikan diri sebagai kelompok pemilik financial freedom. Dalam salah satu tulisan di dunia maya, dijelaskan bahwa  Financial Freedom adalah kemampuan untuk hidup sesuai dengan keinginan Anda tanpa harus khawatir tentang masalah keuangan. Ini adalah saat Anda memiliki cukup aset, investasi, dan sumber pendapatan pasif untuk menutupi semua biaya hidup Anda, membiarkan Anda fokus pada apa yang benar-benar Anda nikmati dalam hidup. Â
Keren, dan sangat menjanjikan serta  memesonakan kehidupan, bila seseorang sudah sampai pada titik financial freedom. Tetapi, mungkin jadi, jumlah peserta pada kelompok ini, kalau dalam piramida penguasaan keuangannya, hanya ada pada puncaknya saja, dan jumlahnya sangat-sangat terbatas. Dalam piramida keuangan kelompok ini, jumlahnya hanya "saalit", dan itulah kelompok "elit ekonomi" semata. Sementara, dasar piramida keuangan itu, dihuni oleh kelompok yang masih 'tidak merdeka secara finansial".
Mungkin ada yang bertanya, besaran mana, penderitaan antara orang yang kekurangan finansial-objektif dengan kekurangan finansial-subjektif ? waduh, jawaban untuk pertanyaan ini, perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi, jangan-jangan Sigmund Freud memiliki jawaban yang tidak terduga mengenai masalah ini. Karena, bisa jadi, orang yang kekurangan finansial objektif, mengidap sakit-fisik, sedangkan orang yang mengalami kekurangan finansial subjektif, cenderung mengidap penyakit psikologis (psikopatologi). Jika demikian adanya, berat mana ya, deritanya ?
Terkait dengan kelompok "tidak merdeka" (lawan dari kebebasan atau kemerdekaan) finansial, maka upaya dasar yang perlu dilakikan, baik oleh dirinya sendiri, atau pemerintah, adalah melakukan pemerdekaan finansial. Pemerdekaan finansial ini, merupakan upaya sadar untuk mengangkat derajat kelompok rentan finansial sehingga menjadi kelompok sosial yang aman secara finansial.
Ideologi pembangunan, sejatinya mengarah pada upaya pemerdekaan ekonomi yang didalamya ada upaya pemerdekaan finansial. Namun sayangnya, pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan, mengabaikan pemerataan, sehingga pembangunan berideologi pertumbuhan hanya melahirkan piramida ekonomi kesenjangan, dan bukan distribusi keadailan ekonomi kepada seluruh masyarakat Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H