Di sini, bukan waktunya untuk mengulas masalah istilah. Pilihan kata mana yang tepat untuk digunakan, apakah literasi ekologi atau taubat ekologi.  Kedua istilah itu, kelihatannya, bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh kita, masyarakat atau elit politik. Tetapi hal yang paling  mendasar dari itu semua, sejatinya adalah masalah tindakan nyata, mengenai upaya sadar menyelamatkan lingkungan. Inilah, aspek pokok dari semua itu.
Seperti yang kita ketahui bersama, dan atau kalangan budayawan pahami, Koentjaraningrat begawan Antropologi Indonesia sudah pernah memberikan bantuan pemetaan mengenai wujud-budaya. Wujud budaya itu, dibagi menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok itu, perlu dan bisa dibedakan, tetapi dalam kenampakannya (fenomena faktualnya) tidak bisa dipisahkan. Setidaknya, demikianlah dalam pemahaman penulis saat ini.
Ketiga wujud budaya itu, bisa kita pinjam dalam konteks pembahasan mengenai literasi ekologi atau taubat ekologi. Â Walau dalam penggunaannya tidak persis sama seperti yang dilakukan Koentjaraningrat, Anthonie van Perseun atau teori taksonomi pendidikan, sekalipun. Penyebutan istilah dan pemaknaannya, akan kta lakukan sesuka-pikiran kita hari ini, di sini, dimedia ini.. hihi... maa, ya.
Pertama, ada wujud-ide, norma atau ilmu, atau dalam taksonomi dunia pendidikan, disebutnya aspek kognisi. Nah, sudah bercampurkan, kan istilahnya ? Â tetapi mudah-mudahan, tidak jadi bingung. Wujud yang satu ini, intinya merujuk pada apa yang ada di benak kita, di otak kita, atau dipikiran kita. Maka dari itu dapat pula disebut kognisi atau pengetahuan.
Pada aspek ini, seseorang dianggap literer atau tidak, lebih mengacu pada keluasan wawasan atau pemahaman mengenai lingkungan. Bila seseorang akrab dengan istilah literasi ekologi, taubat ekonomi, green city, greenflation, greenfield atau istilah lainnya yang sejenis, Â bisa disebut paham ekologi atau literer ekologi. Tingkat literasinya tinggi dibanding dengan mereka yang tidak paham mengenai hal itu.
Kedua, aspek sikap (attitude) atau tindakan (skills). Untuk istilah ini, di dunia pendidikan biasa dipisahkan. Tetapi di sini, kita satukan saja. Kalaupun mau dipisahkan, boleh, jadi nanti ada empat aspek. Tetapi kalau disatukan, menjadi cukup tiga kategori saja. Aspek ini, kita kelompokkan menjadi kategori kedua.Â
Kategori kedua ini merujuk pada kemampuan nyata dalam bertindak. misalnya sikap membuang sampah, menjaga kebersihan, menjaga lingkungan, gotong royong membersihkan got atau sungai di sekitar kampung halaman. Contoh itu adalah bukti  nyata dari sikap atau tindakan nyata seseorang yang dianggap melek lingkungan.
Kesadaran ekologi akan semakin kuat, bila selama ini, dirinya merasa belum bisa melakukan tindakan pelestarian lingkungan, dan malah menunjukkan sikap yang sebaliknya, maka di masa sekarang-sekarang ini, waktunya untuk taubat-ekologi. Sadar akan kekeliruan dan kemudian berbalik arah menjadi cinta lingkungan, merupakan bentuk lain dari kesadaran ekologi lagi yang tinggi, dalam dimensi sikap atau tindakan.
Sejatinya sikap dan tindakan adalah buah dari pengetahuan atau pemahaman. Tetapi, Â tingginya pengetahuan atau pemahaman mengenai pentingnya menjaga lingkungan, dapat diwujudkan dalam bentuk sikap dan tindakan ekologi yang baik. Di sinilah paradoksnya perilaku manusia disekitar kita.Â
Terakhir, yang ingin disampaikan di sini, yaitu aspek ekologi faktual (aspek fisik). Untuk menunjukkan tingkat kemelekan seseorang terhadap lingkungan, pada dasarnya tidak bisa sekedar dilihat dari wawasan, atau sikap dan tindakannya, tetapi dilihat dari indikator kelestarian lingkungannya secara faktual.
Indonesia hari ini, diguncang oleh ragam bencana alam. Sebagian dari bencana alam itu, hadir dalam bentuk banjir, longsoran dan penggundulan hutan (deforestasi). Bila hal ini dicatat, diinventarisir dan disampaikan ke publik, maka mau tidak mau, jujur atau tidak, diakui atau tidak, itulah wujud nyata dari kualitas literasi ekologi atau taubat ekologi di negeri ini.
Ada --untuk tidak menyebut banyak-- pengusaha, melalui perusahaannya berani membuka lahan dan hutan baru di sejumlah titik di permukaan negeri Indonesia, namun setelah masa-usaha habis, lahan terbuka gersang itu dibiarkan menderita dan terluka. Dampaknya, kita semua sudah paham, yaitu bencana demi bencana hadir di sekitar kehidupan kita hari ini.Â
Pertanyaannya jelas, apakah wawasan mereka minim mengenai pentingnya kelestarian alam ? apakah sikap mereka buruk terkait masalah lingkungan ?Â
Apapun boleh diungkapkan dan disampaikan dalam bentuk makalah, tetapi fakta lapangan masih tetap menjadi masalah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H