Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hitam Putih Konsisten

30 Januari 2024   06:22 Diperbarui: 31 Januari 2024   05:11 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang peserta didik, pernah berujar, "bingung, pak, dia mah, rubah-rubah terus.." ungkapnya. Dia mengeluhkan itu, saat dia berhadapan dengan seorang tenaga pendidik, yang memberikan tugas pembelajan kepadanya. Sempat ditanya, memangnya, berapa kali rubah-rubahnya, sampai dibilang begitu. Dia menjawab, "sering pak, anak-anak bukan gak bisa mengerjakan, cuma males saja, kalau tidak ada kejelasan.." tegasnya lagi.

Ini pengalaman kecil di satuan pendidikan. Di sekolah. Bukan negara. Hanya berhadapan dengan beberapa gelintir orang saja. Andaipun kita ngajar semua kelas, mungkin tidak lebih dari 1000 orang. Tidak lebih dari itu. Tetapi, ternyata, anak-anak di sekolah itu, sudah bisa memberikan satu penilaian  yang jelas dan tegas kepada gurunya, andai ucapannya tidak bisa dipegang.

"sebenarnya, bukan kami tidak bisa melakukannya, tetapi, karena tidak jelas, jadi bingung.."

Mungkin ucapan itu, tidak jauh berbeda dengan kehidupan di masyarakat. Kalangan dunia usaha, bisa saja,  memberikan sikap yang negatif kepada pejabat negara, bukan karena tidak bisa melakukan tugasnya sebagai pengusaha. Ketidakmauan melakukan tugasnya itu, lebih disebabkan karena adanya ketidakpastian. Tidak pasti aturannya, dan tidak pasti sikapnya. Ketidakpastian itu, menyebabkan para pengusaha membuat jarak dengan pejaba negara tersebut.

Mungkin ucapan itu, pun, akan berlaku juga bagi seorang warga negara terhadap pejabat negaranya. Jika, sebelumnya mengatakan netral, sekarang boleh berkampanye dan berpihak. Dalam masalah ini, bukan soal undang-undangnya, melainkan soal konsistensia tau keajegan sikap.

Kemulian orang itu, kadang tidak diukur oleh kepatutan dalam hukum, melainkan kepatutan dalam norma dan etika.

O, iya, adakah aturan yang menetapkan bahwa 'seseorang jika melihat ada pengemis  lewat, wajib memberikan sumbangan ?', Rasanya, tidak ada, atau mungkin, saya yang tidak tahu banyak mengenai aturan seperti ini. Tetapi, rasa-rasanya, tidak ada aturan yang mewajibkan seseorang untuk memberikan sumbangan kepada pengemis atau pengamen. Malah, dibeberapa tempat, yang muncul adalah larangan memberikan sumbangan kepada pengamen atau pengemis.

Apakah dengan ketidakadaanya kewajiban untuk memberikan sumbangan kepada pengemis atau pengamen, kita akan menjadi orang terhormat dengan mengatakan, "tidak ada aturan yang mewajibkan berbuat itu?"

Sekali lagi, rasa-rasanya, dalam konteks ini, yang berlaku adalah moral, etika atau akhlak atau nilai-nilai kemanusiaan dan kepatutan etika. Hemat kata, aturan boleh ada, tetapi kepatutan moral tetap menjadi bagian penting dalam menjaga kemartabatan seseorang.

Contoh lain, apakah ada larangan untuk berpindah partai, setelah didukung menduduki jabatan politik tertentu ? misalnya, dulu didukung partai politik tertentu, kemudian berhasil menduduki jabatan publik. Setelah dilantik, kemudian memutuskan pindah partai dari partai pendukungnya. Apakah ada larangan tentang hal itu ?

Rasa-rasanya untuk hal seperti ini pun, tidak ada larangan. Tidak ada larangan unuk melakukan hal itu. Hanya saja, mungkin yang akan menjadi sorotan rekan kerja, dan juga masyarakat, adalah etika dan moral berorganisasi. 

Berdasarkan pertimbangan itu, kita melihat bahwa kepatuhan kepada aturan, adalah baik, tetapi kepatutan terhadap etika dan norma, akan menjadi bagian penting dalam menjaga kemartabatan seseorang. Demikian pula, dengan kebolehannya kita dalam melakukan sesuatu hal, dihadapan masyarakat.

Sehubungan hal ini, perubahan sikap yang terjadi akan menjadi bernilai baik, bila dilandasi oleh kepatuhan dan kepatutan, dan bukan karena kepentingan sesaat, atau kepentingan pragmatis dalam berpolitik. Karena dalam budaya politik itu, konsisten, kepatutanmn dan kepatuhan menjadi sesuatu yang tampak dalam pandangan masyarakat, dan ingatan publik.

Saya jadi ingat dengan sebuah lukisan di bing.com. Lukisan digital itu menunjukkan lukisan yang indah dan memesona. Padahal, dalam lukisan itu, hanya goresan garis bentuk dan warna, tetapi karena konsistensi membuat motif itulah, yang kemudian menbjadikannya indah.

Konsisten itu indah !!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun