Waktu itu, kamu duduk di dua. Dalam beberapa menit berikutnya ada seorang gadis naik dan duduk disampingmu. Seperti biasa. Harga diri dan tahan harga, kamu pasang lebih dulu. Maka, hanya ucapan "mangga..." yang terucap sebagai sekedar menjawab pertanyaan permohonan izin dia untuk duduk disampingmu. Beberapa waktu awal, matamu bermain menatap kehadiran gadis tersebut, mulai dari barang bawaannya, hingga sepintas wajah dari samping kanannya. Setelah itu, kamu pun memalingkannya kembali ke jendela luar untuk sekedar melihat awan di atas sana.
Ketika suasana sudah mulai tenang. Lidahmu berucap, "Mau kemana teh...?" pertanyaan itu, kemudian dijawab dengan tatapan sang gadis dan senyum. Melihat perilaku itu, kamu pun terlihat senyum.
"Ke purwakarta..." jawabnya singkat. Setelah menjawab itu, kemudian dia memberanikan diri untuk mengenalkan diri, dan kamu pun menjawabnya. Karena sudah merasa kenal, perbincangan pun melebar ke sana ke mari. Pada kaitan itulah, kamu berdua lupa pada orang-orang yang ada di sekitarmu, dan lupa tentang tempatmu tinggal. Kamu bukan di rumah, bukan pula ditempat yang sunyi. Kamu tampaknya lupa dan hanyut dalam obrolan dengan teman dudukmu waktu itu. Padahal kamu sedang ada dalam bis, BIS Umum. Tema pembicaraan pun ngelantur ke sana ke mari. Termasuk kamu bicara masalah pribadimu, dan rencana masa depanmu.
Memang menarik. Pengalamanmu selama di bis ini, memberikan gambaran kepada saya dan juga orang lain, bahwa bis itu adalah milik umum, tetapi terasa menjadi milik pribadi. Di sini, di bis umum ini, kamu merasa bebas dan merasa sangat berhak untuk berbicara apapun, dan atau melakukan apapun. Ruangan ukuran 2 xi 20 m itu, banyak yang sudah tidak menganggapnya sebagai milik umum.Â
Seorang kakek merasa tersinggung karena ditegur oleh ibu-ibu yang mau pergi ke Bekasi. "Emang ga boleh...merokok itu hak asasi bu..?" sergahnya dengan sedikit melotot.
"hak asasi apa, asapnya itu nyampe ke anak saya tahu..." serongot ibu, sambil berdiri dan langsung membuka jendeka bis lebar-lebar.
Melihat kejadia itupun, yang kebetulan juga, kamu ada disamping jok si Kakek tersenyum. "untung ada si ibu, saya juga pengap, mau ngomong gak berani..., ya lumaya. Makasih bu" gumammu waktu itu.
Hal yang ingin disampaikan dalam bagian ini, pengalaman perjalananmu saat itu, memberikan gambaran awal bahwa sudah ada pergeseran, atau memang ini adalah makna yang tumbuh subur di masyarakat kita, bis tidak lagi dianggap sebagai ruang publik. Bis atau kendaraan lebih banyak dimaknai sebagai ruang pribadi.
Dalam ruang bis inilah, kami pun pernah mendengar seperti hal yang teralami oleh kamu. Saya pun sempat merasakan, dan ini terjadi di rel kereta api. Di gerbong itu, setiap orang bisa bicara sebebas dirinya menyatakan keinginannya. Â Mereka tidak menganggap ini adalah ruang publik yang ada etika publik. Mereka menganggap gerbong adalah sarana umum untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu, ketika dirinya mau merokok, ngobrol, dengerin musik, tertawa terbahak-bahak, atau pelukan dengan pacar sekalipun, mereka akan lakukan di ruang itu. Sementara orang yang ada di sekitarnya, tetap akan dianggap TIDAK ADA. Tak peduli dengan tatapan atau gerutuan orang, yang penting kamu merasa happi melakukannya di gerbong itu.
Ruang bis adalah simbol dari kendaraan milik publik, kendaraan rakyat kecil. Sebagaimana yang kamu ceritakan, kisah ini terjadi di bis umum, atau damri, dan juga di gerbong kereta api. Di kendaraan rakyat kecil itulah, ruang umum kini banyak diklaim menjadi milik pribadi.